Senin, 12 Maret 2012

Setitik Gerimis di Pagi Hari

Namaku Zie. Aku adalah anak tunggal sekaligus yatim. Aku sangat menyukai gambar dan lukisan. Tetapi penyakit jantung ayah kambuh saat penyerahan hadiah kemenanganku atas lomba lukis se-Riau, dan ia tak pernah melihat piagam kemenanganku untuk selamanya.
Sejak kejadian itu, aku sulit untuk membuat gambar ataupun melukis lagi. Dan tugasku sebagai ilustrator mading sekolah sering tersendat dan tidak sesuai lagi dengan keinginanku.

“Hei, Zie!” teriak Bima dari luar kelas.
Bima adalah ketua ilustrator. Saat itu aku sedang membuat ilustrasi untuk majalah dinding bulan ini yang ditugaskan olehnya. Tapi sepertinya dia akan meminta tugasku sekarang.

“Sorry, Bim,” aku kembali melanjutkan menggambar, tanpa menoleh,”mungkin setengah jam lagi siap.”
“Entar aku kesini semuanya udah clear, oke?”

Tanpa menunggu jawabanku, Bima membalikkan langkahnya.
Andaikan aku bisa kembali menggambar seperti dulu, mungkin tugas seperti ini akan selesai dari tadi. Oh, god!
Kerongkonganku terasa kering. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli minuman di kantin yang cukup jauh juga dari kelas ini.
Sesaat setelah meneguk pop ice rasa anggur kesukaanku, terdengar pembicaraan di belakangku.
“Kenapa lagi dia?” kata suara yang kurang kukenal.

“Nggak tau, tuh! Buat ilustrasi gitu aja lama betul,” aku mengenali suara ini sebagai suara Bima,
“Jangan-jangan ilustrasinya baru siap besok!” celetuk temannya Bima.
“Tauk, ah!” jawab Bima geram, “Cewek itu selalu suka seenaknya. Udah jelek, belagu lagi! Untung…,”
Aku tak lagi mendengar kelanjutan percakapan itu, mereka sudah pergi dari tempat duduk mereka. Dan tanpa kusadari airmataku sudah jatuh membasahi pipiku yang tak mulus karena jerawat.

Besoknya aku tak merasa ingin pergi ke sekolah. Begitu juga dua hari berikutnya. Ibu tidak banyak bertanya kenapa aku tidak ke sekolah. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai penerjemah.

Beberapa orang mengirimkan pesan padaku lewat sms, tapi semuanya tidak menanyakan keadaanku. Mereka hanya memintaku untuk melanjutkan pekerjaanku yang belum selesai. Betapa bencinya aku pada mereka semua!
Di hari keempat sejak kejadian itu, aku memutuskan untuk kembali ke sekolah. Dan aku membulatkan tekad untuk tidak memedulikan mereka, yang sebagian besar membenciku.

Hari ini ada seorang murid baru cewek pindahan dari Selat Panjang. Anak baru itu sangat cantik, dan dia memperkenalkan dirinya dengan nama Fira.

“Hai, aku boleh duduk disampingmu?” tanya Fira kepadaku
“Silahkan, asal jangan ngeganggu aja,” jawabku
“Baiklah,” katanya sambil tersenyum, dan mengacungkan dua jarinya membentuk tanda damai kepadaku, “Aku janji nggak bakal ngerepotin, kok!”
Fira anak yang senang bercerita. Walaupun aku tidak terlalu suka dengan orang yang banyak bicara, tapi aku selalu betah mendengarkan ceritanya yang sebagian besar terdengar konyol. Fira juga membuatku jadi tidak minder kalau berada di dekatnya, karena dia selalu menggandeng tanganku.

“Zie, kamu kok diam saja,” Tanya Fira suatu hari, “sekali-kali cerita gitu sama aku. Perasaan selama ini aku terus yang bekoak-koak sendiri kaya’ tante-tante cerewet!”

Aku tertawa mendengar perkataan Fira yang polos itu. Kejujurannya inilah yang mungkin menyebabkan aku betah mendengarkan ceritanya.
“Entah, Fir,” kataku akhirnya setelah selesai tertawa, “Aku tidak punya bahan cerita yang menarik untuk diceritakan.”
“Kok gitu?” aku tidak menjawab pertanyaannya. Bagiku cukup kalau dia bersikap seperti ini padaku tanpa harus terkontaminasi oleh cerita-ceritaku nantinya.

“Zie!” teriak Bima dari depan pintu kelas
Aku menjawab dengan mendengus menandakan bahwa aku mendengarkannya.
“Tugas kemarin udah selesai?”

“Nggak,” jawabku sekenanya, “aku nggak mood ngerjainnya.”
“Maksudmu? Kamu ini, udah lama dikasih tugasnya, belum kelar-kelar juga! Lelet amat sih jadi orang!” teriak Bima, “Niat kerja nggak sih, dasar cewek jelek!”

Darahku hampir mendidih mendengar perkataannya barusan. Kemudian tiba-tiba Fira sudah berdiri di depanku dan menarikku mendekati Bima.
“Zie, kamu tahu nggak, gara-gara cowok yang selalu memandang fisik seseorang kaya’ gini aku pindah dari sekolahku yang lama,” setelah berkata begitu, Fira mengepalkan tinjunya dan mengarahkannya ke perut Bima, dan membuat Bima meringis kesakitan.

“Apaan sih cewek ini,” kata Bima sambil memegangi perutnya yang meradang, “Kamu udah gila, ya! Dasar Cewek Lesbi!”

Kali ini aku yang naik pitam. aku masih bisa bersabar kalau dia menghinaku. Tapi tidak kalau dia berani menghina satu-satunya teman yang begitu baik padaku. Aku menampar mukanya berkali-kali hingga muka Bima yang putih mulus berubah merah lebam.
“Itu hadiah buatmu karena nggak pernah sopan sama cewe’,” kataku akhirnya, dan melemparkan sebuah amplop yang jatuh di atas perutnya, “dan itu surat pengunduran diriku,”

Betapa leganya aku karena telah melampiaskan kekesalanku selama ini. Setelah hari itu, entah kenapa jari-jemariku kembali menuruti keinginanku, sehingga aku kembali dapat melukis seperti dulu. Thanks God!

Tersenyumlah Sahabat Ku!!

Kala mentari sudah mulai menampakan dirinya, pancaran sinarnya pun mulai terasa hangat. Tubuhku sudah siap untuk menyambut pagi ini, meski bahan makalah masih terbengkalai, laporan karya ilmiah masih terbengkalai, tugas-tugas sekolah pun masih terbengkalai dan sekarang muncul pula masalah yang memusingkan kepala. Meski pikiranku ini tak karuan, aku paksakan kaki ini untuk terus melangkah ke tempat tujuan.

Cerpen Sahabat, Cerpen tentang Sahabat, Cerpen Sahabat Terbaru 2011Dia datang dengan wajah cemberut, yang duh .... aku tak suka, wajah itu mengingatkan aku pada musuh-musuh teroris yang seakan-akan ingin memangsa negeri ini sampai tak berdaya. Gayanya, senyum sinisnya, bicaranya, diamnya dan aku muak pada semua yang berhubungan dengannya. Iya ... aku tau, dia sahabatku. Sahabat yang selama ini ada disampingku, berjuang dan hidup di tempat yang sama, bahkan tak jarang makan dan tidur bersama. Tapi sedihnya kebersamaan yang indah itu harus terenggut begitu saja, kami mengalami perang dingin semenjak kebersamaan itu terekat semakin indah. Awalnya tidak ada yang salah, kami tetap seperti dulu, akrab dan selalu bersama, dimana-mana berdua, dimana diri ini berada, disitu pun ada dia. Tapi seketika bencana datang menghadang, ombak yang besar menghancurkan sendi-sendi persahabatan kami, dan yang ada kini hanya tinggal puing-puing tak berarti.
Aku sedih .. !!

Iya ,, aku sangat sedih. Dalam waktu sekejap persahabatan yang indah itu hancur berkeping-keping. Wajah manis berubah menakutkan, tak ada kata yang keluar dari bibirku dan bibirnya. Bibir itu mengatup tanpa komando. Kebahagiaan berubah menjadi kesedihan, kebersamaan berubah menjadi perpisahan. Meski raga bersatu tapi jiwa terpisah.

Sering aku bertanya dalam hati, kenapa ini bisa terjadi?? Mengapa kesedihan yang sama harus terulang kembali, mengapa harus ada kesedihan setelah kesedihan itu pergi ??
Tapi sayang, tak ada jawaban !
Pertanyaan hanya tinggal tanya. Aku hanya manusia biasa, aku tetaplah insan lemah yang tak punya daya. Aku tidak bisa mengelak dari bencana itu.

“ Rha, besok giliran kelompok kita untuk presentasi, tadi siang Fachri kasih tau aku.” Aku beranikan diri menghampirinya. Aku harus bisa melawan syetan itu. Aku tidak mau dicap sebagai orang yang suka memutuskan tali silaturrahmi. Seperti sabda Nabi dalam sebuah hadistnya : “Tidak akan masuk surga orang yang mendiamkan saudaranya selama lebih dari 3 hari.”

Percuma beribadah sepanjang masa kalau akhirnya tetap masuk neraka. Itulah kenapa aku mati-matian ungkapkan sepatah dua patah kata padanya. Aku tak peduli apakah dia mau dengar atau tidak, ditanggapi atau tidak aku tak peduli. Biar saja, yang yang penting tugas dan kewajibanku selesai. Dia mengangguk sambil bergumam pelan, aku tidak sempat mendengar gumaman itu karena aku terlanjur mengangkat kaki dari sana, aku tak punya daya untuk terus menopang kaki di tempat itu. Tak ada ucapan terima kasih yang aku dengar dari bibirnya. Biarlah ! aku tak butuh ucapan terimakasih itu, yang pasti aku lega karena kewajiban itu berhasil aku tunaikan. Setidaknya aku tidak akan masuk neraka karenanya. Itu saja !

Lambat laun perang dingin itu tercium juga. Teman-teman sekelas pun heran melihat aku yang tidak seperti biasanya. Mereka yang tau aku dan kenal siap aku, mereka yang selalu melihat aku dengan Zahra selalu bersama-sama. Tapi sekarang .. mereka tak melihat lagi hal itu. Mungkin mereka juga sudah tau masalah antara aku dan Zahra.

Aku ditemui Nabil setelah bel pulang sekolah di ruang kelas.
“ Syah, ada masalah ya sama Zahra ?” tanyanya sambil menarik kursi dan duduk disampingku. Mau tak mau aku harus jujur.
“ Iya, aku juga ngga tau kenapa bisa terjadi ?” ujarku.
“ Awalnya gimana sih kejadiannya ?” Nabil balik Tanya.
“ Aku rasa karena masalah kemarin, dia nanya tapi aku menanggapinya kurang ramah. Seharusnya dia juga ngerti kalau saat itu aku lagi bingung dan panik.”
” Kamu kenapa jawabnya kurang ramah?” protes Nabil.
”Aku kesal aja, dia ngga sopan sama aku. Memang dia anggap aku apa ?” Aku balik protes.

” Aku tau, semuanya terjadi karena kalian sama-sama panik dan terjadilah salah paham seperti itu. Sekarang kamu lupakan saja masalah itu.kembalilah bersikap biasa, bersahabatlah seperti dulu. Aku ngga suka kamu seperti itu.
” Sebenarnya aku yang salah, seharusnya aku bersikap bijaksana, tidak boleh membalas keegoan dengan keegoan yang lain.”

” Nah ,, itu kamu tau sendiri. Sekarang kamu harus seperti dulu lagi, sapa dan bicaralah denganya. Jangan takut dicuekin, itu tantangan mulia untukmu. Ayo Aisyah ...berjuanglah ! sangat mulia orang yang menghubungkan silaturrahmi.” Nabil menasehatiku. Aku bersyukur punya teman yang perhatian dan suka mengingatkan. Dia memang teman yang baik.

” Makasih ya ,, Bil. Aku akan berjuang mengembalikan jalinan itu kembali. Mohon doanya ya !!
Aku menggerakan bibir sambil membentuknya menjadi lebih indah, itu senyuman paling manis yang aku ciptakan. Aku berharap senyumman itu bisa meluluhkan hatinya. Tapi ternyata senyum itu hanya tinggal senyum. Senyuman manisku teracuhkan begtu saja, dia melengah tanpa membalas sedikitpun. Hatiku menyuruh sabar .. sabar .. dan tetap sabarr.

Perjuangan belum usai !!
Aku tidak boleh menyerah ...
Aku harus tetap berjuang sampai senyuman manisku dibalas dengan senyuman yang paling manis.
” Oya ,, Rha , besok materi presentasi kita tentang wawancara, drama dan pidato.” Lagi-lagi senyumku mengembang sambil menyapanya. Aku bersyukur punya bahan pembicaraan supaya bisa berbicara dengannya. Dia diam saja, lagi-lagi tanpa ucapan terima kasih. Ah ,, sudah biasa.

Hari ini kos’an sepi, sunyi, tak ada suara-suara yang berarti. Mungkin semua orang sibuk dengan aktivtasnya disekolah. Aku tau, di kamar sebelah ada Zahra. Aku juga tau, hanya aku dan Zahra yang tersisa di kos’an hari ini. Aku sengaja berangkat agak siang ke sekolah,karena aku tau Zahra masih siap-siap di kamarnya. Aku beranikan diri menghampirinya dan mencoba menyapanya. Bermaksud untuk mengajak beangkat kesekolah bersama, tapi sayang sepertinya usahaku kembali sia-sia. Dia seolah-olah menganggapku tak ada. Saat itu, tak sanggup lagi rasanya hatiku menerima perlakuan seperti ini. Dia hanya diam saja tak perdulikan omonganku.

” Rha ,, aku kesekolah duluan ya.” Lagi-lagi aku tabah-tabahkan hati setelah sekali lagi dicuekin. Dalam hati aku berdoa semoga Allah melembutkan hatinya dan bisa menerima aku kembali menjadi sahabatnya. Sayang ,, persahabatan indah itu harus pupus di tengah jalan setelah sekian lama membinanya

” Boleh bicara, Rha ?” Aku menghampirinya di perpustakaan. Dia cuek, tanpa mmenoleh sama sekali, matanya lekat tertuju pada buku yang sedang dia baca.

“ Rha ,, kamu dengar suara aku kan ?” kali ini suaraku terdengar serak.sedih sekali dicuekin seperti ini.

“ Mau ngomong apa ?” Itu suara Zahra. Alhamdulillah akhirnya suara itu terdengar juga setelah sekian lama aku menantinya.

“ Kita tidak boleh seperti ini terus Rha, diam-diaman tanpa kenal dosa.sedih hati ini Rha, kita bersahabat sejak lama, sayang hanya karena masalah sepele kita bermusuhan seperti ini. Mari kita rajut kembali benang-benang itu menjadi tali ukhuwah yang lebih indah, mari kita bina persahabatan kita kembali.” Air mataku berjatuhan dari pelupuknya. Air mata itu mengalir mengairi pipi mulusku lalu merambas ke sela-sela jilbab putih yang aku pakai. “Rabb ,, hati ini sedih sekali.” Batinku pelan.

“ Terserah ....” Hanya itu jawaban darinya.
“ Terserah apanya, Rha ?”
“ Ya terserah .”
“ Kamu ga boleh seperti itu Rha, kasihlah komentar harus seperti apa hubungan kita,harus dibawa kemana persahabatan kita ?”
“ Up to you !” itu jawaban singkat yang betul-betul menyinggung perasaanku. Sedikitpun dia tidak menghargai aku sebagai sahabatnya. Dari jawaban ketus itu aku bisa mengambil kesimpulan bahwa Zahra tak lagi menganggap diriku sahabatnya.
“ Terima kasih Rha atas jawabanmu, setidaknya aku tau apa yang harus aku lakukan setelah ini. Maaf kalau aku selama ini tidak bisa menjadi sahabat yang baik bagimu, maaf kalau selama ini aku sering merepotkanmu dan maaf kalau aku harus mengambil keputusan yang aku sendiri tak sanggup melakukannya.

Tapi sanggup tak sanggup aku harus tetap menjalankannya. Air mtaku bertambah deras membasahi pipi,suaraku gemetar tak terhingga. Sebelum beranjak aku kuatkan hati untuk mengulurkan tangan ingin bersalaman, mungkin jabat tangan terakhir. Alhamdulillah dia menyambutnya walaupun hanya sekilas saja.
Aku beranjak ke luar dengan hati pilu. Keputusanku sudah bulat, aku harus hijrah ke tempat lain. Aku tidakmau menjadi masalah disini. Mengalah bukan berarti kalah bukan ???

Namun, sungguh sejujurnya aku tak mengharapkan kejadian ini. Aku pikir semuanya akan baik-baik saja.

Sudahlah ...
Apa dayaku ,,,
Harapan aku selama ini tak kunjung ku dapatkan, ku tak temukan lagi ”senyuman dari sahabatku”.

SAHABAT
Aku bersembunyi ..
Bukan berarti akumenghindar
Aku tenggelam..
Bukan berarti aku menghilang
Tapi..
Semua itu aku lakukan
Demi kebaikan kitabersamanya

Pintu Masjid

Pintu masjid itu terbuka untuk siapa saja. Ada yang sujud di dalamnya penuh harap, doa dan linangan air mata. Hening . sepertinya ada yang lagi mengadu, ada yang lagi curhat. Tapi siapa. Pintu masjid itu indah untuk dilihat siapa saja. Ukiran-ukiran yang menghiasinya tampak sederhana tapi tetap indah. Dan di pintu masjid itu aku bertemu dengan seorang laki-laki yang aku sendiri tidak mengenalinya. Tubuhku gemetar hebat. Gemetar yang aku sendiri sulit untuk mengartikannya. Rasa takut juga bimbang. Entahlah sepertinya ada detak jantung yang menyesali pertemuan itu. Pertemuan dengan laki-laki itu. Laki-laki di pintu masjid. Itulah laki-laki yang sering ku lihat di pintu masjid.

Pintu masjid itu tetap terbuka untuk siapa saja yang ingin mencari ketenangan. Begitu juga aku. Aku sering mencari ketenangan di sana. Tapi ketika kunjuangan ku waktu itu, ketenangan yang aku harapkan semuanya barcampur dengan rasa bimbang, menjadi serba salah, sepertinya ketenangan yang aku harapkan memudar setelah melihat laki-laki di pintu masjid itu.

***


“Panggil saja saya ayah, jangan sungkan-sungkan”. Suruh ustaz syarifuddin.

“tapi pantaskah saya memanggil dengan nama itu?”.

“kenapa tidak, bukankah saya sudah menganggap kamu seperti anak saya sendiri”.

“mungkin butuh waktu pak, untuk memanggil dengan sebutan ayah”.

“sekiranya kamu sudah bersedia memanggil saya dengan sebutan ayah, jangan sungkan-sungkan ya, saya sangat senang, punya anak sebaik kamu”. Senyum itu teduh. Senyum layaknya seorang ayah pada anaknya. Begitulah yang aku rasakan. Senyum itu memberikan aku semangat untuk melangkah. Andai dia tahu kalau aku ingin sekali untuk memanggilnya dengan sebutan ayah. Memintanya menjadi ayahku. Tapi lidah ini terasa kaku ketika kata ayah itu ku ucapkan dihadapannya. Sering aku membayangkan ketika aku ada dihadapanya dan aku dengan kencang memanggilnya ayah. Pernah sekali, ketika di halaman belakang rumah, di kebun tepatnya, ustaz syarifuddin sedang membersih kebun. Mencabut rumput-rumput liar.

Menyirami sayurnya. Niat hati ingin memberitahukan padanya jika aku sudah bersedia memanggilnya ayah. Aku membayangkan ekspresi wajahnya pasti tampak bahagia. Aku menghampirinya. Di hadapannya. Mulutku teramat sulit untuk memanggilnya ayah, masih memanggilnya dengan sebutan pak. Lidahku lagi-lagi kaku. Itu terjadi karena di kebun itu ada bu siti, istrinya ustaz syarifuddin. Aku takut jika ucapanku ini bisa mengundang rasa tak sedap di hati bu siti. Cukuplah sudah selama ini aku memberikan mereka beban untuk merawatku. Mereka menyadari kedatanganku. Mereka menyapaku terlebih dulu. Aku tersipu malu. Sebenarnya bu siti orangnya baik, ramah penuh kasih sayang. Senyumnya teduh. Layaknya seorang ibu pada anaknya.

Angin melintas di kebun itu. Melayang-layang. Membuat daun-daun kecoklatan gugur dari pohon. Musim panas. Ranting-ranting melambai. Sayur tampak menghijau, segar. Kangkung. Bayam dan kacang panjang. Juga ada sayur-sayur yang lain, yang aku sendiri tidak tahu apa nama sayur itu. Tangan mereka penuh dengan kasih sayang, hingga menyulap halaman belakang rumah menjadi perkarangan hijau yang di penuhi dengan sayur dan buah-buahan segar. Mereka pintar berkebun. Biasanya hasil penen mereka jual sendiri di warung mereka.

“beginilah jika tangan kita ramah dengan tanah, kita bisa membuat halaman belakang ini menjadi kebun menghijau”. Ucap bu siti dengan lembut.

Ustaz syarifuddin kini menampungku. Bu siti dan ana juga menyambutku dengan ramah dalam keluarga mereka itu. Mereka mencoba membangkitkan aku dari mimpi buruk ini. Mimpi yang selalu membuat langkahku kaku, melemah dan roboh. Saat ragaku tak mampu mengharungi hidup, keluarga merekalah yang memapah jiwaku, memberikan aku semngat. Hidupku ku lanjutkan di keluarga ini. Tiap-tiap langkah dan angan tetap demi ibu. Demi seyum ibu. Kian hari aku mulai sadar jika ibu kini tak lagi ada disisiku, jauh meninggalkan ku. Ibu tetap ada di hatiku.

Statusku kini sempurna menjadi yatim piatu. Aku tak punya siapa-siapa lagi. Aku tidak punya tempat berbagi tangis maupun tawa. Aku tak lagi punya tempat seperti dulu. Tempat ketika ibu selalu ada di sisiku. Alhamdulillah. Kini aku punya tempat lagi untuk belabuh, tempat kedua setelah ibu, tempat yang mampu melindungiku dari terobang ambing dihantam angin. Mereka mengadopsikan aku menjadi anak mereka. Masih tetap kaku untuk memanggilnya ayah, tapi paling tidak aku disini aman, disini aku merasa aku semakin terlindung oleh hujaman hina orang-orang. Saat aku bersama ibu, tetanggaku bilang aku hanyalah beban buat ibu, terlahir dalam keadaan tidak sempurna juga menjadi musibah buat keluargaku, berlanjut dari kepergian ayah, hingga kami tinggal dalam gubuk derita. Aku selalu ingat itu.

“bu, kenapa aku terlahir seperti ini bu?”.

“karena kamu anak ibu”.

“berarti jika aku bukan anak ibu, aku pasti tidak seperti ini. Ya kan bu?”. Ibu menangis. Aku sangat menyesal mengatakan hal itu. Aku selalu ingat hal itu. Saat itu senja datang bersama grimis.

Keluarga ustaz syarifuddin begitu perhatian denganku. Aku dapat merasakan itu. Aku ingin ketidak berdayaanku, tidak menjadi beban untuk keluarga ini. Tampak kasih sayang dari mata bu siti. Wajahnya penuh dengan keramahan, juga senyumnya yang selalu ada di bibirnya. Tidak ada perbedaan antara aku dan ana, anak semata wayang. Memang agak manja, tapi ana juga baik denganku. Dia rela berbagi kasih sayang dari orang tuanya denganku. Walau aku bukan siapa-siapanya, dia tetap baik denganku. Aku selalu melihat kebaikan dari hati ana. aku harus tidak banyak meminta dari keluarga itu. Aku terkadang iri dengan ana, ana punya ayah dan ibu yang baik dengannya, sangat menyayanginya. Semua sangat berbedan denganku. Ana cantik, dia juga pintar. Aku tidak punya ibu juga ayah, aku tidak punya keluarga lagi. Keluarga ini penuh dengan kasih sayang. Inilah salah satu alasan kenapa aku tidak memanggil ustaz syarifuddin dengan sebutan ayah, aku tidak ingin hadirnya aku di dalam keluarga ini membuat masalah.

Terlebih lagi ana, mungkin ia suatu hari nanti pasti merasa tersaingi, keberadaanku di rumah ini. Mungkin ana merasa kasih sayang dari ayah dan ibu mereka berkurang, karena terpaksa berbagi dengan ku. Aku merasa tidak enak. Apalagi aku memanggil ayahnya dengan sebutan ayah juga. Itu bisa mengundang masalah besar. Lebih baik seperti biasa saja.

***

Pintu masjid itu terbuka untuk siapa saja. Lagi-lagi aku melihat laki-laki itu ada di dalam. Hampir setiap waktu dia ada disana. Agak aneh, ucapku. Apa dia tidak punya keluarga, anak atau rumah. Laki-laki itu tidak beranjak dari tempat duduknya. Pintu masjid itu tetap terbuka. Maghrib bertandang. Azan berkumandang. Bulan tampak senang, muncul meski belun bercahaya. Matahari menghilang di balik mega. senja datang. Mengingatkan aku akan detik-detik terakhir perpisahan dan kehilangan akan orang yang teramat aku sayang, Ibu. Saat aku harus kehilangan, saat aku harus belajar mengiklaskan, dan saat aku tetap bersabar.

Sebatang kara, aku duduk dicelah senja. Menatap mata itu mata terakhir, kini aku tidak bisa melihat mata itu menangis lagi. Aku tidak punya ayah, dulu ibu sering bilang, ayah sekarang lagi di surga. Umurku waktu itu 10 tahun. Aku tidak tahu apa itu surga, tapi ibu selalu mengatakan jika surga tempat yang aman, menyenangkan dan penuh dengan keindahan, dan ianya khusus tempat orang-orang baik. Ibu selalu berpesan, jika aku harus selalu berbuat baik. Orang yang selalu tunduk pada tuhan. “mungkin seperti ayah”. Ucapku pada ibu. Ibu tersenyum. Aku percaya semua kata-kata ibu tentang ayah yang lagi di surga. Aku menerima keadaanku apa adanya, meski berbeda dengan anak-anak yang lain. Kini ibu tak lagi ada di sisiku. Tak lagi ada untuk melindungiku dari caci dan hina orang-orang. Ibu tetap mekar di hatiku. Tetap ada untuk selamanya. Selalu senyum dan selalu hadir dalam mimpiku. Aku yakin jika ibu sekarang juga sedang duduk di surga melihatku. Mungkin tidak bersama ayah, tapi bersama siapa, mungkin sendiri sepi.

“bu, jika ibu sepi di sana, tataplah aku disini bu, sebutlah namaku, karena aku akan selalu mengirim doa dan tersenyum untuk ibu”.

Kami terpakasa pindah senja itu juga ke rumah ustaz syarifuddin. Ustaz yang amat baik dengan aku dan ibu. Pintu masjid itu terbuka untuk siapa saja. Laki-laki itu masih terlihat di sudut masjid menampung tangan, ada doa-doa yang tak dapat ku tangkap dengan telingaku. Hanya isak tangis sesekali memecahkan kesunyian. Aku masih ingat dengan kata-kata ustaz syarifuddin untuk memanggilnya dengan sebutan ayah. Aku teramat senang. Kini diriku sudah bersedia. Memanggil ustaz syarifuddin dengan sebuatan ayah. Ayah baruku. Ayah yang dititipkan Allah untuk melindungiku. Kian terasa ragaku telah bertemu dengan jiwaku. Aku merasa hidupku mekar lagi. Setelah kepergian ibu, kini aku di berikan malaikat baru untuk menjagaku. Seandainya ustaz yang ku panggil ayah itu memang tercipta untuk ku dari dulu dari aku masih kecil, pasti aku merasa amat bahagia.

“seandainya ayah kamu masih ada, apakah kamu bersedia menemuinya”.

“ibu bilang ayah di surga”

“jika itu suatu hadiah untukmu?

“pasti aku terima, karena kini akukan sudah punya ayah”.

Pukul 17.00WIB. Ada tamu berkunjung di rumah ini. Laki-laki itu, laki-laki yang selalu ada di muka pintu, pintu masjid. Aku mendengarnya dari ruang tamu, ayah juga ada di sana, menyambutnya dengan ramah, suaranya terdengar jelas dari kamarku. Hanya percakapan saling bertanya kabar. Ruangan tamu masih dipenuhi dengan suara mereka. Bu siti juga ada diruangan itu. Sepertinya mereka sangat akrab, dari cara berbicaranya, cara bertanya dan tawa kecil dari canda mereka. Batinku penasaran akan sesosok laki-laki yang tak sempat ku lihat dari pintu masjid itu. Aku menatapnya dari jauh, dari pintu kamarku tampa sepengetahuan mereka. Wajah itu tampaknya tidak asing lagi oleh mataku, tapi dimana aku pernah bertemu dengan laki-laki itu. Aku sempat kebingungan memikirkan laki-laki itu.

Usai makan malam. Semua berkumpul di ruangan tamu. Laki-laki itu masih bertamu di rumah kami. Aku merasa aneh dengan kunjuang laki-laki itu. Saat matanya melihat mataku. Seakan-akan ia ingin menyapaku. Tapi mulutnya kaku. Wajahnya sudah akrab dari penglihatanku. Sekali lagi aku kebingungan saat aku mencari tahu siapa sebenarnya sosok laki-laki itu. Ada rasa ingin menghampiriku. Dari matanya juga aku melihat laki-laki itu lagi dilanda masalah. Wajahnya bergumpal beribu kesedihan, kesedihan yang di sembunyikan di balik mata itu.

“ baiklah, karena semua sudah berkumpul sekarang di ruangan ini”. Aku merasa ada sesuatu dari ucapan ayah.

“ayah”. Laki-laki itu melirikku.

“ya, ada apa?” tanyanya lembut padaku. Tampak kesenangan dari wajahnya. Akhirnya aku bisa melontarkan kata ayah dari mulutku. Itu keluar tampa sengaja. Bu siti tersenyum. Itu tanda, bu siti juga senang mendengar ucapanku tadi, memanggil suaminya dengan sebutan ayah. Senyumnya masih tetap senyum yang dulu, senyum saat pertama kali dia mengajakku untuk tinggal dalam keluarganya. Ana juga tidak tampak ekspresi yang bertukar dari wajahnya, tidak ada tampak wajah suka. Juga tidak ada wajah dengan marah. Biasa-biasa saja. Semua mata tertuju padaku. Mata ayah. Mata bu siti dan mata laki-laki itu. Kecuali ana yang lagi asik dengan handphone barunya itu.

“apakah kamu ingat kata-kata ayah, sekiranya kamu di berikan ayah oleh Allah, apakah kamu menerimanya?”

“ya, pasti mau, bukankah aku sudah bertemu dengan ayah sekarang”.

“ayah?”

“ya ayah, ayah yang datang mengangkatkan aku dari lembah suram”.

“tapi di sini sudah ada ayah yang sebenarnya lho”

“ya ayah, siapa lagi, ayahkan ayahku, tidak mungkin dia ayahku”. Telunjukku dengan santun mengarahkan ke laki-laki itu. Ayah menganggukkan kepalanya.

“ya”. Aku kebingungan.

“bukan, aku tidak mengenal dia, ibu bilang ayahku lagi di surga mungkin sekarang lagi bersama ibu”. Bantahku

“tidak nak, ini ayahmu”. Potong laki-laki itu.

“bukan kamu bukan ayahku, ayahku di surga”.

“maaf kan ayah nak”. Hening. Yang ada hanya linangan air mata yang mengambang di mata laki-laki itu.

Malam hening membisu. Grimis tetap berkunjung yang tersisa hanyalah angin senja yang menyelinap masuk ke kamarku. Mataku tak dapat menahan amarah yang bertahta dalam mataku. Air mata itu tumpah turun bersama dendam dan amarah. Ada gumpalan benci yang ingin ku lontarkan ke arah laki-laki itu. Aku hanya menggelengkan kepala, mengisyartkan setengah yakin. Jika laki-laki itu benar-benar adalah ayahku. Kiranya dia memang ayahku, biarlah malam ini yang menjawab. Kiranya malam ini menolaknya menjadi ayahku, aku juga ikut menolaknya, jika sebaliknya, mungkin aku butuh waktu lama untuk memulihkan luka lama bersama ibu. Aku berharap malam ini malam terakhir untuk ku melihatnya. Aku bukan membencinya, hanya saja aku tidak ingin melihat ibu menangis lagi. Aku bukan dendam dengannya hanya saja aku tidak ingin luka itu datang lagi. Aku menangis. Kebahagian baru saja ku bina. Dengan susah payah. dengan linangan air mata, dengan perjuangan ibu. Hingga aku dapat menemui keluarga baru. Dengan seribu payah aku mengharung hidup dalam lautan hina dari orang-orang. Kiranya aku menerimanya sebagai ayahku, apakah dia dapat mengembalikan ibu. “tidakkan”.

Kini harapku untuk memiliki ayah sudah di kabulkan. Tapi bukan dia, bukan dia ayahku, tapi ustaz syarifuddin. Aku tidak berharap punya ayah lagi, cukuplah aku punya satu ayah baru ku ini aku bukan membencinya, kiranya aku menerimanya pasti akan ada tangis ibu yang tumpah di atas sana. Aku bukan dendam dengannya, kiranya aku menerimanya, pasti luka lama itu hadir lagi dalam langkahku.

Langkahnya perlahan-lahan menjauh dari pintu masjid itu. Hilang bersama malam. Entah pergi kemana laki-laki itu. Yang pasti dia tidak ada lagi di hadapanku. Aku bingung. Apakah aku harus menerimanya. Apakah ibu juga mau menerimanya. Aku berlari mengejarnya. Langkahnya terlalu cepat menghilang. Di pintu masjid, terakhir aku melihat dia sujud. Doanya tak lagi dapat ku dengar. Entah untuk berapa lama lagi. Pintu masjid itu tetap terbuka untuk siapa saja yang ingin mencari ketenangan Mungkin aku harus pergi sejauh mungkin, sejauh hingga aku tak dapat lagi melihat jejaknya. Ibu kini aku punya ayah baru. Biarlah mimpi menyatukan kita ibu.

Menunggu Keseriusan


“Kia, sebenarnya aku sudah capek, kalo kita kayak gini terus, aku pengen kita berhenti ribut, musuhan dan bertengkar, kamu mau kan?”
“Heh, dengar ya Do, aku sebenarnya juga nggak pengen lagi ribut sama kamu, kamu kira aku juga nggak capek apa?”
“Iya ya, Kia, aku juga pengen bilang ke kamu sesuatu yang selama ini aku pendam, aku pengen ngomong serius sama kamu.”
“Ya udah, ngomong aja, apa?!!!”
“Kia sebenarnya, sejak pertama, sejak dulu sekali aku suka sama kamu, aku sayang sama kamu........”

“Haa .....?!!!! He-he ....he-he....”
“Kamu jangan ketawa, aku serius, dari dulu aku pendam perasaanku ini ke kamu, dan sekarang aku udah capek, makanya aku bilang aja ke kamu semuanya, kalo dari pertama kita kenal aku suka dan sayang sama kamu, tapi ..tapi... sebagai teman.
Apa-apaan sih si Dado ini, aku benar-benar benci sama dia. Beberapa detik yang lalu baru aja dia bilang kalo dia suka dan sayang sama aku, tapi kenapa sekarang dipertegasnya dengan kata-kata sebagai teman, aku jadi nggak bisa mengartikan dengan jelas, apa yang ada di ahti dia sebenarnya. Tapi mata Dado merah, dia seperti mau nangis, aku juga nggak tau harus jawab apa? Sepatah katapun nggak ada keluar dari mulutku.

Akhirnya aku ninggalin dia, dengan perasaan yang binggung dan masih bimbang, rasanya aku ingin mengungkapkan isi hatiku juga, tapi kenapa justru aku cuma bisa diam? Aneh banget? Andai aja Dado tau kalo aku juga punya perasaan yang sama ke dia, tapi kenapa akhirnya dia malah ngomong sebagai teman ya? Apa mungkin karena tadi aku meresponnya dengan ketawa, aduuuuh ....gimana ini? aku salah, andai aja tadi nggak ngetawain dia ......


Hari-hari pun berlalu, aku dan Dado nggak pernah teguran lagi. Selama ini walopun kami sering berantem, tapi satu yang nggak pernah kami lakukan, yaitu saling diam. Nah, sekarang udah hampir 2 minggu kami berdua nggak pernah ngomong lagi. Entah siapa yang mulai duluan. Yang jelas, aku dan Dado sampe sekarang nggak ada yang mengalah.

Siang ini, aku nggak menyangka melihat pemandangan yang membuat jantungku serasa mau copot. Di cafe itu saat jam istirahat aku melihat Dado lagi duduk berhadapan dengan seorang cewek. Dia bukan karyawan di tempat kami kerja. Aku baru pertama kali ini ngelihat dia. Dia cantik, dan kayaknya mereka lagi asik ngobrol sambil ketawa-ketawa. Aku merasa sakit banget, aku cemburu, patah hati, marah dan benci banget sama mereka. apalagi sama Dado, apa maksudnya kayak gini, baru dua minggu yang lalu dia bilang suka dan sayang sama aku, dan cepat banget dia langsung dekatin cewek lain.

Aku terus mencoba menghindari dari Dado, kadang entah Tuhan yang mungkin mengaturnya, aku dan dia selalu aja selisih jalan, sampe-sampe kadang kami malah tabrakan, dan akhirnya dengan spontan kami langsung menghindar. Aku sebenarnya udah capek banget kalo terus kayak gini terus. Entah kapan masalah ini bakal selesai. Sampai akhirnya, aku dengar berita yang membuat aku kaget. Dado sekarang jadian sama cewek yang waktu itu aku pernah aku liat di cafe. Awalnya aku nggak percaya dan mungkin hatiku nggak bisa terima. Cepat banget rasanya Dado membuang jauh perasaannya dulu buat aku. apa mungkin selama ini dia nggak tulus ke aku?

Beberapa bulan berlalu, aku masih merasa menyesal dengan kejadian yang dulu. aku masih sering merasa sakit kalo aku liat Dado dan pacarnya.

Tapi apa boleh buat, semua udah terjadi, penyesalan selalu pasti datangnya belakangan. Sekarang yang membuatku masih tetap mau satu kerja dengan Dado cuma masa depanku, aku harus mikirin masa depanku juga, aku nggak mau gara-gara cowok hidupku hancur. Walopun sebenarnya jauh di hati kecilku, aku emang udah hancur, sakit, perih dan segala macamnya aku rasakan. Tapi untuk menghibur diriku sendiri, aku juga berhasil membenci Dado sepenuh hatiku. Aku bisa menghilangkan penderitaanku dengan cara membencinya. Yang aku rasa semakin hari aku semakin benci Dado.

Suatu hari, waktu bangun pagi aku ngalamin sesuatu yang lain, dalam pikiranku terlintas wajah Dado. Tiba-tiba hatiku jadi lunak, perasaan benci, kesal, sakit, hilang perlahan-lahan. Rasanya pintu maaf buat Dado udah terbuka lebar, tapi aku nggak tau kenapa aku tiba-tiba jadi selembut ini. Aku yang biasanya keras hati dan keras kepala sekarang terasa lemah dan cengeng banget. Nggak kerasa air mataku jatuh begitu aja, aku menangis sejadi-jadinya, perasaan yang campur aduk bermain di hatiku. Aku mulai menerima Dado di hatiku, aku merasa aku harus memaafkan dia, aku harus ikhlaskan dia buat siapapun, karena yang terjadi selama ini sebenarnya aku nggak pernah rela dia bahagia dengan siapapun, makanya timbul rasa benci di hatiku sendiri yang seharusnya nggak boleh aku rasakan. Aku udah jahat dan berdosa. Maafkan aku Tuhan.

Di tempat kerja, entah kenapa Dado kayak mencoba lagi buat deketin aku. Apa dia merasakan hal yang sama denganku? Dia mulai menegurku, dan tentu aja aku nggak nyuekin dia lagi. Di wajah Dado kelihatan ada rasa heran dan kaget, waktu aku merespon dia. Dia mencoba tersenyum, dan aku pun membalas senyumannya dengan tulus. Bahagia banget rasanya bisa membuat orang senang. Dan emang bahagia juga rasanya bila nggak ada rasa benci dalam hati. Sekarang aku udah bisa ikhlas merelakan Dado dengan cewek itu, dia pasti sangat bahagia kan? Di dalam hati aku coba untuk meminta sama Dado, karena terus terang aku belum berani buat langsung ngomong sama dia. Waktu Dado lagi sendirian dan nggak tau lagi mikiran apa, diam-diam aku menatapnya, aku seolah-olah bertelepati dengan dia dan mengirimkan kata maaf ke telinganya. Aku berdoa, ya Tuhan dia dengarin aku.

Malamnya, waktu aku nunggu jemputanku pulang kerja. Rasanya jantungku mau copot waktu Dado datang tiba-tiba menghampiriku. Spontan mengambil dua tanganku.
“Kia, aku mau minta maaf. Kamu mau kan maafkan aku?”
“........ya.”

“Benar Kia? Kamu udah maafin aku? Sekarang berarti kita temanan lagi donk?”
“........ya, aku juga minta maaf Do.”

“Kia, aku senang banget, akhirnya kita bisa temanan lagi, kamu tau nggak? Udah dua bulan kita nggak teguran.Aku nggak percaya selama ini kamu tahan banget kayak gini, kamu benar-benar keras Kia.”

“Yee .... emang kamu apaan donk? Kalo nggak keras juga? Kamu juga tahan kan, kenapa baru sekarang kamu berani tegur aku lagi, coba?”

Akhirnya, beban yang selama ini aku tanggung terlepaskan juga. Emang waktu yang lumayan lama banget untuk punya musuh di dunia ini. Dua bulan, aku nggak pernah teguran sama Dado. Selama itu juga aku jadi cewek jahat, kasar yang sering nyakitin hati Dado. Nggak cuma Dado sih, teman-teman di sekitarku juga kena getahnya lantaran selama ini mereka juga memaksaku buat memaffkan Dado. Tapi toh, dua bulan itu aku keras banget, dan nggak ada yang bisa meruntuhkan aku kecuali perasaanku tadi pagi yang tiba-tiba aja muncul waktu aku bangun pagi. Emang aneh.

Yang masih bikin aku penasaran, gimana ya kabar Dado sama pacarnya? apa mereka masih pacaran, koq anehnya beberapa minggu terakhir ini Dado pun jarang banget jalan sama cewek itu lagi. Apa mereka udah putus? Aku pun nggak pernah dengarin gosip mereka. Dan tiba-tiba aku tertarik banget buat mengetahuinya.

“Cewek kamu mana Do, koq sekarang aku jarang banget liat kalian jalan bareng?”
“Oo.. Dwi? Kita udah putus. Udah sebulan ini nggak ada komunikasi.”

Jadi mana cewek itu Dwi, cewek yang dibilang teman-temanku mirip banget sama Dado. Dan sering banget digosipkan kalo mereka itu bakalan berjodoh karena wajahnya yang mirip. Waktu aku masih benci sama Dado, aku berpendapat, soal jodoh kan di tangan Tuhan, belum tentu mereka jodoh hanya karena wajahnya mirip. Tapi, aku penasaran kenapa sampe putus. Yang aku amati sih, hubungan mereka kayaknya baik-baik aja. Kayak membaca pikiranku, Dado langsung menjawabnya.

“Dwi bukan cewek yang nggak benar, Kia. Ternyata dia suka mainin perasaan cowok, selain itu dia juga matre. Dwi, juga suka bergaul dengan teman-teman cewek yang nggak benar, suka ngerokok, pergi dugem, aahhh .... segala macamlah. Yang jelas, kayaknya aku nggak pernah bisa mencintainya dari dulu sampe sekarang.”
“Maksud kamu?”

“Ya, dari pertama aku kenal Dwi, aku berusaha keras buat cinta sama dia, tapi kayaknya yang selama ini aku rasa nggak pernah tulus. Aku nggak benar-benar mencintai dia.”
“Trus ....?”

“Ya, trus, berarti selama ini aku udah membohongi dia, aku bohong dengan diriku sendiri, dan aku juga udah bohong sama kamu.”
“Maksud kamu? Apa hubungannya dengan aku?”
Dengan pura-pura bego’ aku terus bertanya ke Dado, dan ...
“Kia, aku masih suka dan sayang sama kamu.”
“Ha-ha .....ha-ha apa? Kamu nggak salah, serius ato bercanda?”
Aduuuh ....... kenapa aku tertawa lagi ya, ya Tuhan mudah-mudahan nggak melenceng deh.

“Bercanda ....!!!”
“Oww, bercanda ya Do? Kirain kamu serius tadi, ha-ha ...ha-ha ...ada-ada aja kamu.”
“Ya udah, aku pulang duluan ya, kamu belum dijemput juga?”
“Nggak tau deh, koq belum dateng ya?”

Beberapa saat suasana antara aku dan Dado jadi canggung. Sumpah, aku benar-benar kaget denger Dado bilang bercanda tadi. Aku mengutuk-ngutuk sendiri dalam hati. Jadinya koq malah kayak dulu sih? Gimana ini? Koq aku juga bego ya. Artinya, sebelum Dado pamit dan mencoba menghidupkan mesin motornya, tiba-tiba spontan aku memanggil dia.

“Dado, kamu sebenarnya serius ato bercanda sih? Kamu marah sama aku?”
“Lho, kenapa aku mesti marah sama kamu? Udah, nggak usah dipikirin, aku cuma bercanda koq.......”

Sekali lagi aku tanya sama kamu ya, kamu serius kan Do dengan perasaan kamu?”
“ ...........”

“Do, ayo jawab, aku benci banget dengan Dado yang kayak ini, kenapa sih Do dari dulu sampe sekarang kamu nggak pernah mau ilangin sifat gengsi dan jaim kamu?”
“Iya, Kia .....aku serius masih suka dan sayang sama kamu, dari dulu aku ngak pernah bisa melupakan kamu, walopun aku sudah mencoba membuka hati buat cewek yang lain. Tapi, entah kenapa aku selalu sayang suma sama kamu. Aku pernah berdoa Kia, moga-moga aja Tuhan mempersatukan aku dan kamu.”
“ .......Do, kenapa kamu susah banget buat ngomong kalo kamu itu sayang dan cinta sama aku?”

“Maaaf aku ya, jujur selama ini aku emang selalu mencoba jaim dan gengsi banget sama kamu. Aku malu, lantaran aku masih ragu dengan perasaan kamu sendiri Kia.
“Nggak Do, asal kamu tau, aku udah sayang banget sama kamu sejak pertama kali kamu bilang suka sama aku. Aku sayang sama kamu sampe sekarang Do.”

Akhirnya, semua udah terbongkar dan nggak ada lagi yang tersembunyi. Akupun udah merasa lega dan tenang banget bisa mengungkapkan isi hatiku selama ini. Ternyata perasaan aku dan Dado selama ini sama, cuma kemunafikan yang jadi penghalang kami. Sekarang setelah tau semuanya. aku bisa merasakan kebahagianaan yang dianugerahkan Tuhan buat aku. Terima kasih Tuhan buat semua ini.**

Pelangiku

Hujan baru saja reda, pelangi mulai terlihat indah di hamparan langit yang belum begitu cerah. Disaat aku sedang asyik menikmati keindahan warna pelangi,terdengar suara memanggil namaku. Kulihat keluar jendela kamarku,oh ternyata Lia teman sekelasku. Ia mengajakku untuk bermain biola di taman dekat rumah kami.Kebetulan kami berdua senang sekali bermain biola bersama.

“Ris, main biola di taman yuk.” ajak Lia.
“Kapan?” tanyaku singkat.
“Ya sekarang lah!” jawabnya dengan nada yang agak keras.” Kamu mau ya,” mohon Lia.

“Hmm…, mau nggak ya?”
“Ayolah Ris, mumpung belum hujan lagi.”
“Iya, tapi tunggu sebentar ya.”

Akhirnya aku mensetujui ajakan Lia, aku pun bergegas mengambil biola yang berada di dalam lemari bajuku. Setelah sampai di taman ternyata sudah banyak orang yang berada di taman itu.

“Hihh..,dingin. Kita pulang aja yuk, dari pada masuk angin, lagipula udah ramai.” Kataku karena aku merasakan tiupan angin yang sangat menusuk tulang ku dan itu sebenarnya alsanku untuk membujuk Lia agar kami dapat pulang.
“Ah, itu alasanmu saja. Udah deh, kita gabung sama temen-temen yang lain yuk.”
“Heh..,males ah.”
“Huh, ya udah deh up to you.” jawab Lia sambil meninggalkanku sendiri duduk di bawah pohon dengan air yang tak henti-hentinya menetes dari ranting-ranting pohon.

Sesaat aku sedang memandangi pelangi, ada seorang anak laki-laki yang sepertinya berjalan menuju ke tempat aku sedang duduk. Mendekat,mendekat dan mendekat, mulai terlihat senyuman manis dari seorang anak laki-laki yang sepertinya kukenali.

“Hey, masih inget aku nggak.” dia bertanya kepada ku.
“Bismaa?” jawabku dengan sedikit bingung, karena selama beberapa tahun ini aku tidak bertemu dengan Bisma dan sekarang wajahnya sedikit berubah. Bisma adalah teman sekelasku saat aku masih duduk di bangku SD.

“Iya benar, kamu masih ingatkan?”t anya Bisma lagi.
“Iya aku ingat.” jawabku.
“Kamu kesini sendiri?”t anya Bisma kepada ku.
“Oh,nggak kok,aku kesini sama Lia.”
“lho,t api Lia nya mana?” tanya Bisma sambil melihat sekelilingnya.
“Sebentar aku panggilkan.” ”Li..Lia lihat nih siapa yang datang.”

Sebenarnya aku terpaksa manggil si Lia, padahal aku pengen berdua aja ngobrol sama si Bisma. Soalnya memang dari SD aku suka sama si Bisma.hehehe

“Ris, siapa yang datang.” Tanya Lia dengan nafas yang terengah-engah setelah berlari menghampiri ku.

“Bisma.” jawabku singkat
“Oh Bisma , gimana kabarnya, kok baru sekarang sih ke Semarang, hmm kamu kangen sama aku ya?” Tanya Lia pada Bisma.

“Kamu GR banget sih Li, Bisma datang kesini karena kangen sama aku bukan sama kamu hahaha.”jawabku sambil menatap wajah Bisma yang tambah ganteng itu.
“Hahaha…ada ada aja kalian. Aku kesini buat ngisi liburan akhir semester.” jawab bisma sambil tersenyum.

“Ohhhhh. Jadi nggak kangen nih sama kita berdua?” tanya Lia dengan nada yang sangat datar.

“Nggak gitu juga, aku kangen kok sama kalian, kalian kan sahabatku.” jawab Bisma dan lagi-lagi dia tersenyum.

“Ohh ya?” tanyaku untuk meyakinkan jawaban Bisma.
“Iya Risma cantik.” jawab Bisma singkat.Meskipun singkat tetapi kata-kata itu sudah membuatku sangat GR.

“Ris, Li, nanti sore kalian mau nggak aku ajak jalan-jalan.” ajak Bisma
“Yah.., aku nggak bisa ikut Bis, nanti sore aku mau nganterin kakakku ke perpustakaan.” jawaban Lia.

“Kalau kamu Ris?”
“Kalau aku sih mau-mau aja apalagi perginya sama kamu.” aku menjawab dengan sedikit malu.

“Jiahh, kalau sama Bisma aja gakk pakek “Hmmm…” tapi klo sama aku pasti pake “Hmmm..ikut nggak ya?”sela Lia.Maksudnya “Hmmm…” selalu pikir-pikir dulu setiap pergi sama Lia.
“Hehehe sorry Li.”

Waktu masih menunjukkan pukul. 13.00, aku sudah tidak sabar menanti saat-saat bersama Bisma. Sambil mendengarkan lagu-lagu dari laptopku tak sadar ternyata jam di dinding rumahku sudah menunjukkan pukul.15.15 WIB Sebelum Bisma menghampiriku aku pun berdandan agar Bisma tersepona eh salah terpesona dengan ku.ckackackkk.
Beberapa menit kemudian terdengar suara seseorang mengetuk pintu rumahku 3 kali. Hahh..ternyata yang mengetuk pintu rumahku si Bisma. Aku dibuat kagum olehnya.
“Hey.. Kok bengong sih, yuk kita berangkat nanti keburu malam nih.” Bisma berkata padaku sambil menepukkan tangannya ke bahu ku.

“Iya, yuk.”

Kami berdua pun pamit dengan ibuku yang sedang menyiram bunga di halaman rumah, lalu kami pun berangkat dengan mengendarai motor yang dibawa Bisma.
Sampailah kami di tempat tujuan. Ternyata Bisma mengajakku ke sebuah mall yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalku. Pertama kami menuju ke tempat yang menyediakan berbagai macam pakaian.Huhh, ini saat yang paling buat aku bete, nungguin orang beli baju.Tapi nggak buat Bisma.Setelah kami masuk, Bisma pun segera menuju ke tempat pakaian yang dianggap sesuai dengan seleranya.Beberapa menit setelah memilih, Bisma memanggil aku.

“Risma, kesini sebentar!” panggil Bisma.
Aku langsung menuju ke tempat Bisma berdiri.
“Ada apa Bis?”

“Menurutmu aku lebih pantas pakai yang mana, kanan apa yang kiri?”tanya Bisma sambil menunjukkan 2 helai kaos bewarna biru dan abu-abu.

“Menurutku yang abu-abu.” jawabku.
“Ohh, ya udah aku ambil yang abu-abu.” Bisma pun memutuskan untuk membeli kaos yang bewarna abu-abu.

“Ehh, kamu nggak beli, Ris.” tanya Bisma kepadaku.
“Nggak Bis, aku lupa bawa dompet.” jawabku.

“O.., ya udah sana pilih baju yang kamu suka. Masalah bayar membayar serahin semua ke aku, aku kan yang ngajak kamu kesini.” kata Bisma dengan cara berbicaranya yang cool. ohh

Aku pun mengambil kaos bewarna abu-abu mirip seperti kaos yang dipilih Bisma. Setelah membayar, kami berdua menuju ke bagian sepatu, toko buku dan terakhir Bisma mengajakku ke restaurant Jepang yang masih berada di dalam mall tersebut.

Setelah kami makan, kami pun segera keluar dari mall tersebut. Saat kami sampai di depan mall terdengar suara rintikan air yang sepertinya akan hujan. Dan ternyata benar, hujan pun mengguyur kota Semarang sore ini.
“Aduh gimana nih, hujan .” kataku dengan nada agak menyesal.
“Ya udahlah Ris, harus gimana lagi.Kita tunggu aja hujannya sampai reda.” tanggap Bisma.

Beberapa saat kemudian suara derasnya air hujan mulai tak terdengar lagi,dengan perlahan awan abu-abu menghilang dan tampaklah busur cahaya yang menghiasi langit sore ini.Kami berdua pun segera berjalan menuju dimana motor Bisma diparkirkan.Saat sedang bersiap akan memakai helm,sejenak aku menatap langit yang tidak cerah lagi.

“Ris, kamu lihat apa sih?” tanya Bisma sambil memakaikan helm ke kepalanya.
“A..a..aku lihat pelangi.Tu.”j awabku sambil menunjuk keatas kearah pelangi.
“Ohh..” respon Bisma singkat.
Saat diperjalanan aku masih menatapi pelangi yang tak henti-hentinya membuatku senang. Tiba-tiba Bisma menghentikan motornya di taman yang tidak asing bagiku.

“Lho, kok berhenti Bis.” tanyaku pada Bisma.
“Udah turun aja, aku ngajak kamu kesini biar kamu bisa menikmati pelangi yang indah itu.” jawab Bisma dengan senyumannya yang khas dari bibirnya.
Kami pun duduk disalah satu bangku taman yang sedikit basah karena hujan beberapa menit yang lalu.

“Kenapa sih kamu kok kagum sama pelangi?” Bisma bertanya kepadaku.
“Karena pelangi itu baik, pelangi tanpa pamrih muncul untuk menghibur bumi kita sesaat setelaah menangis dan pelangi sangat –sangat membuat hidupku lebih berwarna.” jawabku dengan tetap menatap kearah pelangi.

Setelah kami puas memandangi pelangi, Bisma mengantar aku pulang. Sampai di rumah aku langsung kekamar untuk ganti baju, lalu aku makan malam bersama kakak ku. Selesai makan aku ke kamar untuk tidur, karena saat itu sudah menunjukkan pukul 21.30 WIB. Saat aku mulai merebahkan badanku di kasur, saat itu pula aku teringat bayang-bayang senyuman Bisma tadi sore. Kayaknya aku ada rasa sama Bisma.

Sudah dua minggu lamanya Bisma berlibur di Semarang, tidak terasa besok adalah kesempatan terakhir aku untuk mengungkapkan semua isi hatiku.

Keesokan harinya, jam masih menunjukkan pukul 06.45 WIB tetapi aku sudah mendengar suara dering hpku yang berbunyi begitu nyaring. Mendengar itu aku langsung mengambil hape ku yang ada di meja belajarku, ternyata Bisma menelponku.

“Hallo,ada apa Bis.” kataku
“Hey Ris, kita ketemu di taman ya.”
“Memm…”aku memutus perkataanku sendiri karena Bisma sudah menutup telponnya.
Beberapa saat setelah aku mengangkat telpon dari Bisma, aku langsung bergegas menuju ke garasi rumahku untuk mengambil sepeda yang akan ku kendarai untuk bertemu Bisma. Setelah aku menempuh perjalanan selama kurang lebih duapuluh menit, aku akhirnya sampai di taman. Aku melihat seorang anak laki-laki dengan kaos abu-abu yang menutupi badannya. Aku pun menghampiri anak itu, karena aku yakin pasti dia Bisma.

“Hey…”aku memanggilnya dari arah yang berlawanan dengan posisi duduknya. Dia pun berbalik melihat kebelakang, ternyata dugaanku benar,Bisma.
“Eh, Risma kamu mengagetkanku saja.” kata Bisma.
“Bis, ada apa sih kok mendadak gini?” tanyaku pada Bisma sambil duduk di sebelahnya.

Bisma hanya menjawab dengan senyuman. Aku dibuatnya tambah bingung.
“Kok cuma senyum sih?” tanyaku lagi.
“Ris, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” kata Bisma.
“Ngomong apa?”
“Kamu tahu kan hari ini aku harus pulang ke Bali.”
“Iya aku tahu itu, jadi cuma itu yang mau kamu omongin?”
“Ohh, nggak cuma itu.”
Sejenak Bisma terdiam dan lagi-lagi dia tersenyum. Dan beberapa detik kemudian…

“Ris.., aku sayang sama kamu.” kata Bisma sambil menatap mataku. Mendengar kata-kata Bisma, aku merasa ada taman bunga dengan bunga-bunga yang bermekaran. ohh
“Ris.., kamu mau nggak jadi pacarku.” Bisma melanjutkan kata-katanya.
Kali ini bukan bunga tak bermekar kembali, tetapi mulai terlihatlah busur cahaya yang tampak dari taman hatiku. ohh

“SS…s.s..sory Bis aku nggak bisa, kita kan masih kecil. Sekarang kita sahabatan dulu. Mungkin kalau kamu mau nung…” aku memutuskan untuk berhenti berbicara karena Bisma memotong kata-kata ku itu.
“Aku mau nunggu kamu sampai kapan pun,selama aku masih mampu.”
“Benerr?” tanyaku.
“Ya benerlah, Ris.” katanya.

Tiba-tiba hp Bisma berdering, ternyata itu telpon dari mamanya. Bisma diminta untuk segera pulang karena ia dan keluarganya akan segera menuju kebandara untuk pulang ke Bali.

“Ris, aku harus pulang sekarang karena satu jam lagi aku akan terbang ke Bali.” kata Bisma, kali ini Bisma tidak berkata dengan senyumannya tapi sepertinya ia menahan air mata yang akan membasahi pipinya.

“Ya, pulanglah. Tapi ada satu yang aku harapkan darimu.”
“Apa?”tanya Bisma.

“Bis, aku juga sayang sama kamu, kuharap kamu bisa jadi pelangi yang selalu mewarnaiku meski kita tidak bertemu lagi.” kataku. Tak kusadari aku meneteskan air mata dari kelopak mataku.

“Ya aku janji….udah dulu ya.”j awab Bisma sambil melangkahkan kakinya mendekati ku,hahh…diluar anganku.B isma mengecup keningku. Ohh pelangiku. Apakah ini bukti dari kata-kata Bisma tadi?

“Bye..” Itu kata yang diucapkan Bisma sambil berjalan meninggalkan taman.Setelah Bisma melangkah kurang lebih empat meter dari tempatku berdiri, Bisma sejenak menolehkan kepalanya sambil tersenyum dan sepertinya dia telah meneteskan beberapa tetes air matanya.

“Bye.. Bisma semoga tuhan mengijinkan kita bertemu lagi.” kataku dalam hati sambil meninggalkan taman.

kesepian

Cerpen Kesepian, cerpen kesepian, cerpen sepi, Cerpen tentang Kesepian
Hujan mengawali pagi hari dimana Anne memulai segalanya. Anne membuka matanya perlahan dan berusaha untuk bangun dari tempat tidurnya. Ia bergegas untuk berangkat sekolah.
Anne keluar dari kamarnya dan menuju keluar rumah.

“mama..!! Anne berangkat sekolah ya!” kata Anne dengan tergesa-gesa. Belum sempat ibunya menjawab, Anne sudah meninggalkan rumahnya.

Setibanya Anne di pintu gerbang sekolah, ia bahagia karna melihat pemandangan yang selalu membuatnya tersenyum senang. Anne melihat Ricko, temannya. Sudah hampir satu bulan Anne selalu memerhatikan Ricko tapi Ricko tidak menunjukkan reaksi apapun.

“hari ini gue punya kabar baik buat diri gue sendiri! Pertama, gue gak terlambat dateng ke sekolah. Kedua, pagi-pagi gini walaupun ujan.. gue bisa ngeliat Ricko!” kata Anne pada dirinya sendiri.
Anne sebenarnya ingin berlama-lama di depan pintu gerbang sekolah dan memerhatikan Ricko. Tetapi, ia harus segera masuk kelas.

***

Sesampainya Anne di kelas, ia melihat pemandangan biasa yang membuatnya bosan. Teman-temannya sedang bertukar pikiran alias contek-mencontek. Anne tidak berminat untuk berpartisipasi dalam contek-mencontek itu.

“Ke! Lo belum ngerjain pr ini? Ya’ampun! Kemana aja sih lo?” kata Anne pada teman sebangkunya, Keila.
“belum An! Lo udah?” Tanya Keila.
“udahlah! Lo gimana sih! Itu pr ipa kan? Itu kan udah dari seminggu yang lalu! Kenapa gak dikerjain di rumah? Haduuh!”
“males gue ah! Eh,, An! Sini deh duduk” Keila menarik Anne sampai Anne duduk di kursinya.
“ada apaan sih Ke? Mesti duduk segala!” Anne bingung.
“tapi,, gue takut lo nangis kalo dengernya!” wajah Keila prihatin.
“kenapa sih? Gue gak nangis deh! Janji!”
“Ricko,, jadian sama Rena!”
“oh,, cuma itu?” wajah Anne berubah tapi Anne mencoba untuk berpura-pura tersenyum dan tidak peduli.
“lo gapapa?” Tanya Keila.
“ya,, gue gapapa! Emangnya apa hubungannya gue sama Ricko?” Anne berlagak tidak peduli.

Keila tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Keila tahu yang Anne katakan untuk menguatkan hatinya.
‘jadi,, Ricko,, huuft.. yaudahlah!’ batin Anne.
Anne berjalan keluar kelas meninggalkan Keila yang kembali sibuk mengerjakan pr. Anne melihat rintikan air hujan dari depan kelasnya. Anne melihat dengan jelas ada Ricko di seberang. Tak terasa air mata Anne mengalir.

***

Siang hari yang terik menghapus lembabnya hujan tadi pagi. Anne yang terbaring di tempat tidurnya tidak bisa menahan tangisnya.

Anne bangkit dan berjalan menuju lemari kamarnya. Ia membuka lemarinya dan mengambil sapu-tangan yang ia rajut sendiri. Di sapu-tangan itu tertera nama Ricko. Anne mencoba untuk merusak sapu-tangan itu tapi tidak bisa. Anne mengambil gunting dan mencabik-cabik sapu-tangan itu.

“percuma! Percuma gue ngerajut nama Ricko sebagus apapun! Bahkan percuma kalo gue ngerajut namanya di hati gue! semua itu gak akan bisa ngerubah kenyataan kalo dia bukan buat gue!” kata Anne.
Anne memejamkan matanya. Anne berharap semua ini mimpi dan Anne ingin ia melupakan semua yang pernah ia harapkan. Selama ini, Anne selalu berharap bisa menjadi sesuatu yang special bagi Ricko. Tapi, kini semua itu menjadi sia-sia.

“kalo di otak gue ada tombol delete,, pasti semua harapan gue tentang Ricko udah ilang sekarang!” Anne mencoba tersenyum.

“gue gak boleh cengeng! Gue masih punya sahabat,, gue punya keluarga yang sayang sama gue! apa yang kurang dari hidup gue ini? Udah lengkap menurut gue! gue gak butuh yang lain lagi!” Anne benar-benar tersenyum sekarang. Ia memikirkan hal-hal yang selalu membuatnya bahagia.

Anne keluar dari kamarnya dan melihat ada sahabat-sahabatnya menunggu di ruang tamu. Anne bingung karna sebelumnya ia tidak punya janji dengan sahabatnya.
“kalian di sini?” Anne bingung.

“iya.. gue pikir, lo lagi butuh temen jadi, gue ajak yang lain ke sini juga!” kata Keila.
“tapi kok, tadi gue gak di panggil? Kenapa kalian gak manggil gue?” Tanya Anne.
“ehm,, kita takut ganggu kamu An.. jadi kita tunggu aja di sini!” kata Lisya.
Anne menghampiri sahabat-sahabatnya itu. Anne duduk di samping Gita. Gita tersenyum menatap Anne.
“kalian,, ehm,, huft,, jujur aja! Kalian ke sini karna kasihan ya sama gue?” tanya Anne.
“kita gak kasihan kok sama lo! Kita Cuma prihatin An!” kata Gita.
“sama aja Git!” Anne menunduk.
“kita tau kamu butuh temen! Jadi kita ada di sini! Kita akan selalu ada kalo kamu butuhin An!” kata Lisya.

Anne tersenyum senang mendengar pernyataan sahabatnya yang terdengar sangat peduli dengannya.
“makasih ya guys! Kalian baik banget!”
Sahabat-sahabat Anne tersenyum senang melihat Anne tersenyum. Mereka menghabiskan siang hari bersama-sama. Dan mereka berjanji satu-sama lain untuk akan terus bersama wlaupun apapun yang terjadi.

***

Dua bulan telah berlalu, Anne termenung sendirian di perpustakaan sekolahnya yang sepi. Ia begitu bingung dengan perasaan yang ia rasakan. Anne mengambil kertas dan pensil yang ada di dalam tas-nya. Anne mulai menulis apa yang ia rasakan karna ia sulit untuk mengungkapkannya secara lisan.

Aku punya segalanya yang aku inginkan,,
Aku mendapat semua kasih sayang yang aku butuhkan,,
Aku juga tidak sendirian!
Aku mempunyai banyak sahabat yang peduli padaku,
Aku juga mempunyai keluarga yang menyayangiku..
Tapi perasaanku lain dengan keadaan ini..
Rasanya aneh! Sulit untuk aku ungkapkan!
Aku merasa hampa! Kosong!
Aku harus menyebut ini apa?

Anne melipat kertasnya dan menyingkirkannya dari meja membacanya di perpustakaan.
“mungkin kesepian!” suara dari belakang mengejutkan Anne.
Anne menoleh dan sangat terkejut. Tepat di belakang Anne, ada Ricko yang sedang membawa kertas yang Anne singkirkan tadi. Ricko mengambil kursi di sebelah Anne dan mendudukinya.

“boleh duduk di sini kan gue?” Tanya Ricko. Anne hanya bisa mengangguk karna bingung.
“tadi,, lo bilang apa?” Tanya Anne.
“gue bilang,, mungkin lo kesepian?”
“gak mungkin! Karna gue punya banyak sahabat!” kata Anne.
“dari luar semua orang juga gak akan keliatan kesepian! Tapi,, mungkin hati lo yang kesepian!” kata Ricko sambil memberikan senyuman manis.

“terus,, apa yang bisa buat gue gak kesepian?” Tanya Anne.
“menurut lo?? Jelas gue gak tau! Cuma lo sendiri yang tau apa yang lo mau!” kata Ricko. Ricko menatap mata Anne dengan tajam.

“ehm,, entahlah!” Anne mengalihkan pandangannya.
“tau gak sih An! Baru sekarang gue berani ngomong sama lo!” kata Ricko mencoba menatap Anne.
“emangnya kenapa? Emangnya sebelumya lo takut sama gue?” Anne bingung atas pernyataan Ricko.
Ricko tersenyum dan berkata “iya! Gue takut jantung gue copot kalo ngomong sama lo! Tapi,, ternyata gak! jantung gue cuma berdetak lebih cepet!”
“apaan sih lo Ricko! Oh,, iya! Bukannya lo pacaran sama Rena ya?” Tanya Anne.
“udah lama banget kali!” kata Ricko.
“sekarang masih?”
“yup!”
‘kalo lo masih pacaran sama Rena,, kenapa harus ngomong jantung mau copot segala coba?’ batin Anne.
“oh iya,, Anne! Gue suka sama lo!” kata Ricko.
“maksud lo apa sih Ricko?” Anne jadi kesal dengan sikap Ricko.
“gue suka sama lo! Gue mau lo jadi sahabat gue karna gue udah lama ngincer lo jadi orang yang special buat gue!” kata Ricko.
“maksudnya?”
“kalo lo mau,, lo bisa jadi orang yang sangat special bagi gue! ‘SAHABAT’ lo mau kan jadi sahabat gue? please…!” Ricko memohon sampai ia berlutut di hadapan Anne.
“haha,, lebay banget sih! Pastinya gue mau jadi sahabat lo! Tapi,, lo harus janji! Lo harus bantuin gue nemuin obat kesepian gue!” kata Anne.

“gak perlu repot kok! Obat kesepian lo itu kan gue!” Ricko membanggakan dirinya.
Anne tersenyum mendengarkan pernyataan Ricko.
‘mungkin,, ini udah takdir! Dan gue seneng banget bisa sahabatan sama Ricko! Selama ini,, gue berharap bisa jadi sesuatu yang special buat Ricko! Dan,, sekarang tercapai! Gue ngerti,, sahabat lebih special dari apapun itu! sekarang semuanya berjalan sempurna’ batin Anne.

Kala Takbir Bersenandung Cinta

Cerpen Cinta Islami Terbaru 2011, Cerpen Cinta Islami26 Desember 2004 adalah tanggal terjadinya sebuah peristiwa yang tak dapat sirna dalam hati seluruh warga Kota Banda Aceh. TSUNAMI. Peristiwa itu telah tergores di hati mereka. Dan untuk menghilangkan goresan itu, tidak dapat hanya dengan menggangap sebagai angin yang telah berlalu. Dari sekian banyaknya manusia yang jatuh sebagai korban. Hanya beberapa yang selamat dari bencana itu. Salah satunya adalah Akbar dan Aisha sepasang Kakak beradik yang selamat dari bencana air bah yang dahsyat itu. Saat itu Akbar sedang menjalani studinya di Univeritas Unsyiah Banda Aceh jurusan Akutansi. Sedangkan Aisha Sang Adik adalah pelajar kelas satu SMP. Ketika bencana itu terjadi, mereka terpisah dari kedua Orang tuanya demi menyelamatkan diri.


Pada mulanya Aisha merasa ada suatu hal yang janggal pada hari itu. Aisha Sang Adik terlihat terus menerus gelisah. Akbar, Kakak kandung Aisha merasa heran melihat sikap Adiknya. Tak biasanya ia melihat Sang Adik diam terus menerus dan bisu seribu bahasa. Ternyata, tanpa ia sadari sikap Adiknya yang ia sayangi itu merupakan sebuah tanda akan terjadi sebuah Bencana besar di hari itu. Sebuah Gelombang Laut yang tinggi masuk ke Kota dan memporak-porandakan seisi Kota. Mengetahui itu Akbar dan Aisha segera berlari menyelamatkan diri. Karena waktu hanya sedikit. Dengan berat hati dan linangan air mata. Akbar dan Aisha berlari menyelamatkan diri, tanpa memberitahu kedua Orang Tua yang sangat ia sayangi.

Akbar terus berlari sekencang-kencangnya. Segala sesuatu yang ada di depannya tampak ia acuhkan saja. Orang-orang yang sedang berlari dan berjalan di depannya ia tabrak saja. Kedua kakinya sangat lincah berlari. Tangan kanannya terus menggengam tangan seorang remaja putri berjilbab hitam dan mengenakan baju panjang merah yang tak lain adalah Aisha. Aisha yang sedang ia pegang tangan kanannya tampak kesulitan berlari. Sering kali Aisha menghela nafas panjang.

Sesekali Akbar mengedarkan pandangannya ke segala arah. Ia terus melihat pemandangan yang menyedihkan. Pemandangan menyedihkan itu terus terjadi silih berganti. Puluhan kendaraan saling bertabrakan satu sama lain. Kecelakaan itu merupakan kecelakaan beruntun. Mereka berdua terus berlari sangat kencang. Seluruh tenaga mereka kerahkan. Sering kali mereka menghela nafas yang dalam berulang-ulang. Peluh keringat bercucuran tetes demi tetes.

“ Aisha. Kamu harus bisa tetap berlari. Gelombang sudah semakin dekat. Kamu harus bisa Aisha. “ Ia mensupport Aisha yang ia genggam tangannya sambil menunjuk gelombang laut tinggi yang siap mengejar mereka berdua.
“ Tapi Kak, aku tidak kuat lagi. “
“ Aisha, kamu harus kuat! “
“ Tapi Kak, aku lelah “ Ia sedikit mengiba.

“ Kak Akbar aku tak tahan berlari lagi. Biarkan tinggalkan aku saja di sini. Kakak berlari saja. “ Aisha perempuan yang ia genggam tangannya mengeluh.
“ Aisha aku akan berdosa apabila tidak dapat menyelamatkan diriku. Dan engkau akan berdosa andaikan engkau tidak menyelamatkan nyawamu. Kamu hanya menjadi sampah seperti orang yang membunuh dirinya sendiri. “

Aisha menundukkan kepalanya. Hatinya tergerak. Ia segera bangkit dan kembali berlari menyelamatkan diri. Aisha tampak letih setelah berlari jauh. Jilbab panjangnya berkelebat diterpa angin kencang. Kakinya yang dibalut dengan kaus kaki putih polos sudah tampak pincang. Dan kaus kakinya telah kotor bebercak coklat.
Selama berlari mereka berdua terus bertasbih dan bertakbir. Kalimat agung dan suci terus terlontar dari bibir mereka. Mereka berdua sangat panik. Rasa takut dan cemas bergejolak di dalam diri mereka. Tiba-tiba sebuah Truk besar berwarna kuning hendak melintas di depan mereka. Akbar segera melepas genggaman Aisha dan segera menghentikan mobil Truk Kuning itu. Truk itu seketika berhenti. Akbar segera menuju bangku supir.

“ Pak bisakah kami menumpang mobil Bapak? “
Seorang lelaki besar berkulit hitam dibangku supir terdiam.
“ Pak saya mohon “ Akbar mengiba.
“ Dik, Truk kami tidak memiliki banyak bangku “
“ Apakah di bak belakang tidak bisa? Saya mohon Pak “
“ Baiklah tapi hanya satu orang saja yang boleh ikut karena di bak belakang sudah penuh dengan barang “
“ Baiklah “
Akbar segera menyuruh Aisha naik.
“ Kak aku tidak mau “
“ Kenapa? “
“ Aku hanya mau dengan kakak “ “ Aisha kakak mohon. Naiklah. Jika kita berdua selamat, Insya Allah kita akan dapat bertemu kembali. Dan apabila tidak. Percayalah. Insya Allah Kita akan digolongkan sebagai Syuhada, berperang demi menyelamatkan nyawa sendiri “

Aisha menitikkan air matanya. Ia mematung di dalam bak Truk yang besar itu. Tanpa aba-aba dan sebuah isyarat Truk itu perlahan bergerak dan semakin lama semakin kencang. Aisha melambaikan tangan kanannya kepada Sang Kakak tercinta. Air mata tak dapat ia bendung. Air mata itu tumpah membanjiri kedua pipinya yang halus dan putih. Setelah memastikan Truk itu berjalan cukup jauh. Akbar kembali berlari menyelamatkan dirinya.

****

Hari telah sore. Langit telah melepas jubah birunya. Dan memulai merajut warna jingga. Matahari mulai merangkak ke ufuk Barat. Waktu akan berganti. Pemandangan menyedihkan terlihat di seluruh Kota. Rasa sedih masih menyelimuti seluruh warganya. Tumpahan air mata terjadi di mana-mana. Masjid besar Baiturrahman yang berada di Pusat Kota Banda Aceh itu tampak dikerumuni ribuan manusia. Waktu Ashar tiba. Adzan berkumandang dari seluruh penjuru masjid. Mendengar suara Adzan itu, ia kembali tak kuasa membendung air matanya. Aliran air mata membekas di pipinya. Ia tidak tahu akan keberadaan sang Kakak tercinta. Yang telah berhasil menyelamatkan nyawanya.

Tanpa Aisha sadari. Sang Kakak tercinta selamat dari bahaya Tsunami yang sangat ganas itu. Dan sekarang Kakak tercintanya itu berada di tempat yang sama dengan Aisha. Akbar yang telah lama di Masjid itu segera menuju ke ruang wudhu. Ia segera mensucikan dirinya, untuk bersembah diri kepada sang Pencipta. Ia berjalan menembus ribuan orang yang memadati jalan menuju ruang wudhu. Dan subhanallah. Dalam rentak langkahnya untuk mensucikan diri. Ia melihat sosok Sang Adik di hadapannya. Dan spontan saja.

“ Aisha. Engkaukah itu? “ sebuah kalimat singkat dan padat terlontar dari bibirnya.

Sang Adik yang berdiri di hadapan Kakaknya itu hanya menganggukkan sedikit kepalanya yang berada di dalam balutan jilbab hitam panjangnya. Semula ia hanya diam. Dan perlahan dari bibirnya, sebuah senyum kecil lahir dengan jelas. Ia segera berlari menuju tempat sang Kakak berdiri. Dengan erat ia memeluk Kakaknya.

Setelah berjuang dengan keras menyelamatkan diri, berperang dengan waktu. Akhirnya mereka berdua dapat kembali bertemu dan bersama kembali. Suara Adzan yang berkumandang dari seluruh penjuru Masjid akhirnya mempertemukan mereka berdua. Sebuah Alunan Takbir Cinta dengan halusnya mempertemukan Seorang Kakak dengan Adik tercintanya yang semula terpisah.

Tragedi Cinta

Selvi memandang dari jendela kamar dan melamun berharap pelangi muncul setelah hujan lebat. Dari arah jendela Selvi melihat seorang pria berteduh di depan rumahnya. Ia masih memperhatikan pria itu dengan sebuah tas gitar yang ia lindungi lebih berharga darinya. Akhirnya hatinya ibah dan keluar dari rumah dengan sebuah payung. Ia mendekati pria itu dan membuka pintu gerbang. “Masuk yuk, daripada kehujanan.” tawar Selvi. “Yakin ga’ papa!!” ujar pria itu sopan. “Serius. Di rumah ini aku tinggal sendiri. Ayo!!!”. Pria itu memarkirkan motornya di halaman rumah Selvi yang sederhana. Kemudian Selvi mengajaknya duduk teras rumahnya. Selvi mengambilkan sebuah handuk kering untuk mengeringkan sisa-sisa hujan untuk pria itu..

Cerpen Tragedi CintaNamun pria itu lebih memilih membersihkan gitarnya daripada dirinya. Selvi hanya tersenyum memperhatikan tingkah pria berkulit putih dan bermata sipit tersebut. “Kok gitarnya dulu yang di keringkan. Bukannya kamu??” “Iya ga’ papa. Ini nyawa pertamaku. Jadi penting juga!” “Emang gitar itu buat apa??” “Saya Thomas. Saya seorang gitaris band amatiran namanya Superband.” “Wah pantesan. Dengar-dengar seorang pemusik menganggap alat musik sebagai nyawanya. Aku pikir tadinya cuma rumor dan ternyata benar!” “Hehe. Gitulah. .. Emang kamu bisa main alat musik juga?” “Hm..” Selvi terdiam menatap gitar pria tersebut. “Sedikit bisa main piano, dulu sempat les tapi sekarang udah bodoh kali, tapi kalau gitar emang ga’ bisa. Pengen belajar tapi ga’ ada waktu, sibuk untuk kuliah.” “Oo gitu… Emangnya kamu kuliah dimana?” “STIKOM dekat sini. Bukan asli dari kota ini. Rumah ini kontrak, Jangan heran kalau aku tinggal sendiri di rumah ini!” “Hahaha,, gitu…!”

Selvi menawarkan secangkir teh hangat kepada pria itu. Thomas tersanjung dengan kebaikan gadis itu. Hujan mulai reda. Thomas segera ke café tempat ia bekerja dan pamit kepada Selvi. Selvi senang berkenalan dengan pria itu. “Terima kasih tempat buat aku berteduh, jasa kamu pasti aku balas kelak” “Idih… Pemusik emang romantis kata-katanya. Hmm… bagaimana kalau kamu ajarin aku main gitar!!” “Benar… dengan senang hati aku mau ajarin kamu. Kalau aku sempat pasti aku ajarin kamu.” “Baiklah kalau begitu!”. Perkenalan itu menjadi awal kedekatan mereka.

Thomas benar-benar menemui Selvi untuk mengajarkan Selvi bermain gitar dari nol hingga mulai menarik petikan nada dari gitar klasik yang dipinjamkan oleh Thomas. Selvi mulai menyukai musik sejak itu. Ia selalu menantikan guru les gitar barunya tersebut setiap kesempatan waktu yang ada. Setelah latihan beberapa kali, Thomas juga melihat sebuah potensi besar dari suara yang dimiliki oleh Selvi. Kebetulan vocalis di bandnya memutuskan mundur untuk mencari peluang kerja yang lebih baik. Selvi sempat ragu. Namun karena dorongan yang diberikan Thomas membuat ia berani menyatakan dirinya bersedia. Ternyata, pilihan Thomas kepada Selvi tidak salah. Band mereka mulai banyak menarik minat café-café untuk memberikan porsi konser kepada mereka.

Selvi mulai giat menjadi vocalis dan membuat kuliahnya terbengkalai. Ada hal lain yang ia sembunyikan dalam kebersamaan bandnya. Ia mulai jatuh cinta pada Thomas. Namun Thomas selalu menegaskan kepada seluruh tim untuk menggapai cita-cita mereka dahulu menjadi band sukses ketimpang mengurusi urusan pribadi mereka termasuk cinta. Kebesaran nama band mereka belum cukup untuk membuat band tersebut masuk dalam dapur rekaman. Beberapa kali di tolak oleh pengusaha rekaman da membuat Thomas putus asa. Disaat itulah Selvi selalu memberi dorongan. Cinta antara mereka tak dapat disembunyikan. Sejak itu mereka menjadi sepasang kekasih. Seiring mimpi mereka menjadi band sukses, diikuti kisah cinta mereka yang begitu indah. Mereka mengubah nama bandnya menjadi APPLE. Dengan tambahan dua orang yang awalnya hanya bertiga. Kini mereka berjumlah lima orang termasuk Selvi, Thomas, Gerry, Nita dan Hendra. Dua anggota baru adalah dua bersaudara Nita dan Hendra yang mempunyai kemampuan biola (Nita) dan piano (Hendra). Mereka menginginkan band mereka sukses dan saat itu juga ada audisi konser di kota mereka.

Gerry dan Thomas adalah sahabat dekat yang selalu bersama sejak kecil. Namun Gerry memiliki kebiasaan buruk sehingga memiliki beberapa musuh yang selalu datang untuk mengajaknya berkelahi. Ketika itu Gerri berdebat dengan salah satu anggota band yang terlihat iri dengan kesuksesan band Apple.

Selvi mulai mahir menciptakan lagu dengan gitar. Ia mulai sering bolos kuliah. Ia rela melakukan semua itu demi cita-cita dan mimpinya bersama sang kekasih. Hubungan mereka begitu dekat dan sulit untuk dipisahkan.

Band merekan tiba untuk melakukan audisi dan lolos ke final yang bersaing dengan band yang saat itu membuat keributan dengan Gerry. Mereka telah siap di hari final dan saat itu Selvi sedang ujian di kuliahnya. Ia memutuskan berangkat sendiri dengan taksi menuju tempat audisi setelah ujian usai. Sedangkan Thomas dan Gerry pergi bersama begitu juga Nita dan Hendra. Sesampai disana Selvi, Nita dan Hendra menunggu Thomas dan Gerry. Sedangkan band mereka sebentar lagi audisi. Selvi menghubungi Thomas dan Gerry namun tak dapat di hubungi. Mereka mulai cemas dan akhirnya Gerri menghubungi Selvi. Gerry mengatakan kalau mereka ada suatu urusan dan menyuruh Selvi untuk melakukan audisinya bertiga. Sekarang mereka bertiga berjuang untuk band mereka.

Audisi berakhir dan Selvi membawa keberhasilan. Selvi menghubungi Gerry. “Gerry, kita juara. Kita bisa jadi band dapur rekaman.” “Selamat ya. Sel, Thomas kritis. Dia dirawat di rumah sakit. Ayo, cepatan ke sini.” “Kamu ga’ bercandakan Ger?” “Ngga’, cepatan kesini.” Selvi mulai cemas dan gelisah. Sesampai di rumah sakit ia menemui Gerry dengan luka di kepalanya. Di UGD dia melihat Thomas terbaring dengan alat bantu pernafasan. Ia menerobos ruang itu dan berteriak keras. Suster dan dokter memisahkan gadis itu. Selvi bertanya kepada Gerry. “Kenapa bisa begini?” “Maafkan aku Sel. Ini salah aku. Andai aku tidak buat keributan, dia tak akan seperti ini. Dia tertusuk pisau saat dia menolong aku dari perkelahian itu.” Kemudian dokter keluar dari ruang UGD dan mengatakan pasien telah meninggal. Selvi menerobos pintu UGD dan berteriak sekeras-kerasnya. “Thom, jangan tinggalkan aku.”

Cinta mereka berakhir sebagai kenangan. Selvi tak bisa melupakan kenangan mereka berdua. Ia melihat gitar yang diberikan Thomas sebagai bagian hidup Thomas yang tersisa. Selvi memetik gitar dan akhirnya menciptakan sebuah lagu yang indah. Kemudian Selvi mempunyai semangat untuk bernyanyi. Saat itu band mereka menyanyikan lagu yang dibuat Selvi. Selvi mulai membuka kata-kata terakhirnya, “Lagu ini aku persembahkan untuk orang yang ku cintai yang telah pergi untuk selamanya.” Seorang pengusaha jatuh cinta pada lagu itu dan membuat band mereka sukses. Usai konser Selvi pulang karena kelelahan. Saat teman-temannya datang ke rumah Selvi mereka menemui Selvi dengan tetesan darah dan selembar lirik lagu untuk persembahan terakhir hidupnya. Lagu tersebut kemudian sukses dan menyisakan pil

Santriwati yang Merindu

‘’Udahan, yuk Mis!’’ ujarku pada Misri.
‘’Sebentar lagi Nur, nanggung!’’
‘’Plok, plok, plok!’’ Suara bola pimpong yang memantul di meja seperti sebuah irama yang rutin kami dengar kalau sedang main pimpong. Bunyinya tidak senyaring dan seenak meja triplek. Tapi kami sudah terbiasa dengan meja batu yang dicor itu. Kena hujan dan panas, tak masalah. Tidak bakalan rusak atau terkelupas. Paling-paling lembab, dan bunyi pantulan bola agak melempem.

Kiyai kami memang hebat. Bukan meja kursi makan saja yang dibuat permanen, meja pimpong juga. Mungkin Pak Kiyai tahu kalau santri suka jahil. Tapi sepertinya bukan itu alasannya. Yang benar adalah Pak Kiyai tidak mau menganggarkan dana hanya untuk perbaikan meja kursi dari kayu atau meja pimpong, yang pastinya cepat rusak kena hujan dan panas. Biar APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Domestik) pondok tidak terkuras hanya untuk perbaikan atau pengadaan meja kursi makan tersebut.

‘’Yes!’’ Tiba-tiba Misri teriak kegirangan karena berhasil menjebol pertahananku dengan smash yang cukup tajam. Skor kami jadi imbang. 20;20. Berarti kami juz 2. Aku menengadah ke langit.
Waktu hampir senja. Ingin disudahi saja, tapi, seperti kata Misri, nanggung, memang iya. Tinggal meraih dua angka lagi, dengan sendirinya permainan selesai. Iya, kalau selesai, lha, kalau terjadi pertahanan alot dan juz lagi, juz lagi. Bagaimana bisa cepat selesai? Mau mengalah saja dengan membiarkan Misri menambahkan skornya dengan mulus tanpa perlawanan, akunya yang keberatan.
‘’Gimana, ya?’’ Sambil berpikir aku tetap berusaha menerima umpan bola dari Misri. Ah, akhirnya aku kalah juga. Misri berhasil meraih poin dua kali berturut-turut.
‘’Awas ya Mis, lain kali tak kan kubiarkan kamu mengalahkanku,’’ ujarku sambil membereskan net dan bed dibantu Misri.

‘’Coba aja, siapa takut?’’ Tantang Misri. Kami berdua berpisah menuju kamar masing-masing.Habis olahraga pimpong, aku bergegas ke kamar mandi. Sebentar lagi waktu maghrib menjelang. Aku tak mau ketinggalan Apalagi ketinggalan pengumuman siapa saja yang bulis (ronda malam santri putra) malam ini. Aku harus mendengarnya sendiri. Aku malu kalau sampai aku bertanya. Nanti ketahuan lagi, kalau aku nanya sama teman. ‘’Nggak ah, aku harus ke masjid,’’ pikirku.
Acara mandiku selesai juga. Yang membuatku lega, aku nggak terlambat. Pengumuman siapa yang bulis belum diumumkan. Tapi ya, pas aku gelar sajadah di shaf paling belakang, barulah al Ilaanat (pengumuman) dibacakan, termasuk siapa saja yang bulis nanti malam.

Aku pasang kupingku terang-terang. Mendengar satu persatu nama-nama yang disebutkan. Ada Miftah, Ramli, dan nama yang kutunggu-tunggu. ‘’Asyik, ternyata memang benar dia bulis nanti malam.’’ Untung tak ada yang tahu kalau aku mesem-mesem sendiri sambil mengepalkan tangan kananku dan berteriak ‘’Yes!’’ dalam hati.Menjelang azan, seperti biasa kami para santri putra dan putri, melantunkan Syair Abu Nawas yang makin dikenal setelah Hadad Alwi menyanyikannya dalam teks aslinya, berjudul Al’itirof. Setelah itu dipopulerkan kembali oleh artis cantik Marshanda versi terjemahan Bahasa Indonesia.
***
Kulewati malam ini dengan debar tak menentu. Aku membayangkan seperti apa pertemuanku nanti malam. Haruskah aku sengaja menunggunya di teras depan kamarku? Idih, sangat memalukan. Kalau jelas pacar, masih mendingan. Lha ini? Pacar bukan, teman akrab juga bukan. Ngapain juga aku menunggunya di teras. Ntar malah dicuekin lagi. Jangankan didekati, melihat saja dia ogah. ‘’Nggak ah, sia-sia aja,’’ batinku.

Atau, aku pura-pura ke kamar mandi? Ya, aku kan bisa basa basi nanyain dia. Kan, bukan dia aja yang bulis, tapi teman-temanku juga. Aku juga kenal dekat dengan Miftah dan Ramli. Jadi aku negur mereka aja. Ya, ya, cara ini yang paling cocok aku lakukan nanti malam. Aku bisa curi pandang dan berada di dekatnya. Mudah-mudahan dia tahu gemuruh di dadaku dan berharap dia juga merasakan perasaan yang aku rasakan.

Dia kakak kelasku. Aku mulai memikirkannya sejak aku bertemu pertamakali. Cinta pada pandangan pertama? Entahlah. Kalau mengingat usiaku yang baru menginjak 14 tahun, layakkah itu disebut cinta? Terus terang, aku sendiri tak bisa mendifinisikan apakah aku cinta atau sekedar naksir saja. Yang jelas, aku suka melihat dirinya dan selalu mencuri pandang setiap kali bertemu.
Lonceng yang berada di antara dua pohon rindang berdentang beberapa kali. Suatu pertanda jam istirahat tiba. Juga waktunya tidur. Teman-teman yang sudah mengantuk cepat-cepat gelar kasur. Kasur yang semula tertata rapi berubah berantakan, berserakan. Itu karena ada yang menariknya sembarangan. Kasurnya berada di baris tengah, langsung ditarik tanpa menunggu pemilik kasur yang berada di atas mengambilnya.
Dengan begitu kamar jadi sedikit heboh. Semua berebut mengambil kasurnya masing-masing. Berseliweran, mengambil kavling masing-masing. Bagi yang biasa tidur di tengah-tengah, harus merelakan kasurnya diinjak atau terinjak oleh teman-teman yang mendapat kavling di pojok. Pemandangan seperti ini sudah biasa setiap malamnya di kamarku. Aku rasa, di kamar lain juga begitu. Mungkin juga semua kamar. Berebutan membentang kasur duluan. Tapi, nggak juga sih. Tergantung penghuninya dan pendampingnya. Kalau tegas dan mau mengawasi sampai selesai, bisa juga teratur. Ah, kenapa jadi membahas gelar kasur, ya? Justru peristiwa menjelang tidur di lantai ramai-ramai berjejer kadang berjejal bak ikan sarden saling berdesakan itu membuat lucu, membuat haru, membuat ngilu, membuat pilu dan tentunya membuat rindu.

Satu persatu penghuni kamarku sudah terbuai di alam mimpi. Seandainya tidur mereka kuabadikan, mungkin ada yang tersipu malu, tersenyum sendiri bahkan mungkin merasa kesal. Ada yang telungkup, tanpa sadar mengalir sungai kecil dari sudut bibir dan membentuk pulau di atas bantal. Ada juga yang mulutnya sedikit menganga, yang kalau nyamuk sedang terbang di depannya bisa-bisa tersedot ketika menarik nafas. Ada juga matanya agak terbuka, seolah-olah tak tidur. Ada juga yang kakinya menindih badan teman sebelahnya. Ada juga yang ngorok, mengalahkan suara kodok di belakang asrama. Pokoknya semua etiket tidur yang ditausiyahkan Pak Kiyai tak bisa diterapkan.

Ketika sedang memperhatikan teman-teman yang tidur, tiba-tiba saja detak jantungku berdebar tak beraturan. Makin cepat dan membuat tubuhku menjadi lemas. Perlahan, secara samar-samar, aku mendengar langkah kaki orang.
‘’Pasti itu bulisnya,’’ pikirku. Aku pun bangun, berdiri dan berjalan pelan seperti maling menuju jendela. Untungnya jendela kamar terbuat dari kaca besar, sehingga dengan menyingkap tirai jendela tanpa menimbulkan bunyi bisa bebas memandang ke luar.
Sekali lagi aku melihat teman-teman yang tidur, untuk memastikan tak ada yang melihat tingkahku. Satu persatu. Tapi cuma sekilas pandang. Karena aku tak mau terlewat melihat teman-teman yang bulis. Cepat ku sibak tirai sedikit. Ya, hanya sedikit. Aku juga takut kalau ketahuan sedang mengintip. Ups, malu dong! Bisa-bisa bulisnya ke ge-eran. Atau aku yang dianggap kecentilan? Sebodo teuing!
‘’Ngapain, Nur!’’ Tiba-tiba suara Kak Ria, pendampingku mengejutkanku.
Aku tersentak, refleks menutup tirai. Aduh! Kepalaku kejedot kaca. Saking dekatnya wajahku ke kaca dan nyaris menciuminya. Untung bunyinya nggak sampai mengganggu yang lain.
‘’Eh, Kak Ria, bangun, ya,’’ sapaku berusaha setenang mungkin.
‘’Saya mau ke belakang, kebelet nih. Denger suara bulis saya ngintip,’’ lanjutku mencari alas an.
‘’Perlu ditemanin, nggak?’’ Kak Ria menawarkan diri.
‘’Nggak usah deh Kak, ngerepotin aja. Kakak tidur aja lagi,’’ elakku.
‘’Ya, deh.’’ Kak Ria langsung menarik selimutnya dan membenamkan kepalanya dalam selimut. Cuaca malam itu memang dingin.
Aku menarik nafas dalam. Diam sejenak. Ku lihat lagi Kak Ria. Diam. Tak bergerak. Sepertinya sudah pulas. Mungkin saja Kak Ria terbangun karena mimpinya, buka karena aku. Aku kan Cuma diam. Mana berani aku bersuara? Kembali aku ke jendela. Menyibak tirai. Masih ku lihat para bulis tak jauh dari kamarku. Mereka tampaknya sedang duduk di bangku beton bawah pohon melinjo.

Ku pikir ini kesempatan. Aku harus keluar pura-pura ke kamar mandi seperti rencana yang sudah ku susun di memori otakku tadi. Tapi tiba-tiba terjadi perang batin. Antara gengsi dan keinginan yang begitu kuat dari hati. Keluar, jangan. Keluar, jangan. Ku kuatkan hati untuk keluar. ‘’Ayo Nur, ini kesempatan! Kapanlagi?’’ Bisik hatiku.Pelan-pelan aku menuju ke pintu. Tanganku pun sudah memegang gagang pintu. Tinggal kuplintir, pintu terbuka. Tapi itu belum juga ku lakukan. Rasa-rasanya jemariku kaku, berat untuk digerakkan. Cepat-cepat aku lepaskan peganganku. Aku surut langkah. Sesaat kemudian, aku kembali mendengar langkah kaki berjalan. Lama-lama makin jauh dan menghilang. Semangatku pun ikut melayang di bawa angin malam.***

Sekolahku di Pedalaman

Sudah lima tahun aku belajar di sekolah “Budi Makmur” ini. Sekolahku berada di daerah pedalaman. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada tiga kelas. Dindingnya terbuat dari papan dan kulit kayu. Sementara atapnya terbuat dari daun sagu, atau sering disebut daun rumbia oleh suku pedalam. Meja dan tempat duduk kami terbuat dari papan yang dibuat memanjang. Papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan kelasku. Se-kolahku hanya berlantaikan tanah. Kalau hujan turun, airnya akan masuk ke dalam kelasku hingga menjadi becek.

Sekarang aku sudah kelas enam. Hanya ada empat orang murid di kelasku. Sedangkan guru yang mengajar di sekolahku hanya ada dua orang. Pak Nantan dan Pak Kurna, mengajar dari kelas satu sampai kelas enam.

Dalam belajar, kami dan guru senang membaur. Seperti mengerjakan latihan misalnya, kami sering mengerjakan dan memecahkannya bersama-sama, dan tidak malu-malu bertanya kalau tidak paham. Kami dan guru terlihat sangat akrab sekali!

Pulang sekolah hari ini aku dibonceng Pak Nantan naik sepeda ontel. Sedangkan Rizal, temanku, ikut dengan Pak Kurna. Kami sering dibonceng seperti ini karena rumah kami berdua paling jauh. Jarak rumah ke sekolahku empat kilo meter. Jam enam pagi aku sudah harus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki melewati jalan setapak dan hutan belantara.

“Pak Nantan hari ini mancing ke sungai lagi? Boleh Ujang ikut?” tanyaku.

“Bapak hari ini memetik buah kelapa di kebun, Jang. Uang belanja sudah menipis. Besok kalau kelapa-kelapa itu sudah terjual, Bapak pasti akan ajak Ujang mancing di sungai!” janji Pak Nantan.
Aku sedih mendengarnya. Sudah lelah mengajar di sekolah, Pak Nantan harus memanjat kelapa lagi sesampainya di rumah. Kalau tidak, keluarganya tidak bisa makan. Karena dengan menjual buah-buah kelapa itulah Pak Nantan bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Pak Nantan tak menerima gaji mengajar di sekolah, karena Pak Nantan hanya tamat SMP. Tapi niat baiknya ingin memajukan kampungku supaya bebas buta huruf dan pandai berhitung memang patut diacungi jempol.

Setahun yang lalu ada dua orang guru bantu yang dipindahtugaskan dari kota ke kampungku. Betapa gembiranya aku waktu itu. Aku berharap kehadiaran mereka bisa memberikan kemajuan bagi sekolahku. Namun harapanku itu kemudian pupus. Sebulan mengajar, mereka hanya empat kali datang ke sekolahku. Bulan berikutnya, mereka tak pernah datang-datang lagi ke sekolah. Ah, mungkin mereka tak terbiasa dengan keadaan kampungku yang terpelosok jauh berada di pedalaman.

Suatu hari Pak Nantan pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku. “Apa cita-citamu, Jang?”

“Aku ingin jadi seperti Bapak!” jawabku mantap.

“Menjadi guru?” Pak Nantan ter-senyum.

Aku mengangguk, “Aku ingin membuat kampung ini menjadi maju. Aku ingin semua orang bisa membaca dan berhitung. Kalau orang-orang di kampung ini sudah bisa membaca dan berhitung, pasti mereka bisa membangun kampung ini mejadi lebih maju!”

Mata Pak Nantan tampak berkaca-kaca mendengar penuturanku. “Pendidikan di kampung ini memang sangat menyedihkan. Tak ada guru-guru yang mau mengajar di kampung ini. Apalagi kebanyakan anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja di ladang membatu orang tua mereka dari pada pergi ke sekolah.”

Air mataku menetes. Aku sedih sekali. Di rumah, seharusnya Abah dan Emak bisa membimbingku belajar dan mengerjakan PR. Tapi mana mungkin. Kedua orang tuaku tidak pandai membaca dan menulis. Malah suatu ketika Abah dan Emak memintaku untuk mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung. Wah… Bagaimana mungkin? Apa aku bisa? Ah, tapi akhirnya kucoba juga. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku pun mengajari orang tuaku membaca, menulis dan berhitung.

“Abah bangga padamu, Jang. Anak sekecil kamu sudah pandai mengajari Abah dan Emakmu membaca, menulis dan berhitung,” ujar Abah memujiku.

“Emak juga bangga, Jang. Berkat kamu sekolah, Emak dan Abahmu jadi tak bodoh lagi. Emak dan Abahmu sekarang sudah bisa membaca walaupun masih mengeja,” kata Emak lalu mencium kepalaku.

“Terima kasih,” ucapku terharu. “Ini juga berkat Abah dan Emak yang mau menyekolahkanku hingga aku menjadi pintar dan bisa mengajari Abah dan Emak di rumah, hehe…”
Abah dan Emak memelukku, dan menciumi kedua pipiku dengan penuh rasa sayang dan cinta.
Ah, kelak, aku harus bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju! Aku ingin semua orang di kampung ini bisa membaca, menulis dan berhitung. Doakan aku, ya, teman-teman!***

Labirin Kecil

Semburan cat spray beragam warna berhamburan membasahi baju-baju seragam putih kami, membentuk garis-garis penanda sebuah kebebasan. Kami bersorak saling menyalami satu sama lain. Merayakan sesuatu yang kami sebut kelulusan. Sesekali juga spidol besar bertinta hitam menghujam dan menghujani tubuh kami dengan berbagai kata-kata kenangan. Tak ada yang mengelak, bahkan masing-masing kami terus meminta. Meminta dibubuhi sekedar tanda tangan dan kalimat-kalimat perayaan di dada, lengan, kerah dan seluruh bagian yang belum bergurat dan berwarna. Kepada siapa saja, bahkan yang tak pernah dekat sekalipun. Semua menjadi satu dalam rangkaian kebahagiaan keberhasilan di hari terakhir ujian.

Ipang yang paling bersemangat, apalagi pada baju-baju siswa perempuan. Ia salah satu teman sekelasku yang berhasil membuat rekor terbanyak dijemur di tengah lapangan sepanjang sejarah lima belas tahun berdirinya MTs Al-Islamiyah. Namanya terpampang besar-besar di papan pengumuman sekolah sebagai siswa yang memiliki catatan datang terlambat paling banyak dan sempat terancam dikembalikan ke orang tuanya. Di sini, di MTs Al-Islamiyah orang pantang menyebut kata-kata dikeluarkan. Tabu dan memalukan, benar-benar terhina jika terhukum demikian.

“Ustad, sini mana baju lu, biar gue buatin kata mutiara yang nggak bakal elu lupain seumur hidup!” ucapnya sambil menarik bajuku dari belakang, kemudian mulai mencorat-coret di bagian yang masih kosong.

“Jangan kata-kata kotor ya!” sungutku cepat takut-takut ia menulis yang macam-macam.
“Tenang, nggak pantes kalau di baju ini mah.”

Ipang tertawa, tangannya masih gesit menulis tiap kata. Rasanya sangat panjang, aku begitu tidak sabar ingin segera membuka baju untuk membacanya.

Riuh ramai di sekitarku dengan cepat redam, lalu tiba-tiba sunyi. Beberapa anak berlarian ke segala arah hendak menyelamatkan diri. Aku dengan cepat menengadahkan wajahku yang dari tadi menunduk menunggu Ipang selesai dengan esaynya. Mataku terbelalak mengikuti desir nadi yang meningkat dengan cepat. Jantungku berseragam dengan urat di pergelangan tanganku itu, kini organ terpenting di bagian dada sebelah kiri itu memompa darahku makin cepat dan tak terkendali. Wajahku tiba-tiba pucat dan kelu.

Pak Muksin berdiri melotot dengan tatapan yang sangat menakutkan bersama seorang petugas keamanan yang berdiri di sebelahnya dengan sebuah pentungan dari rotan terjinjing di tangan kirinya. Mereka menatapku dan yang lainnya yang kini hanya bisu dan mematung terjerat sorot nyinyir guru BP itu. Ipang juga ternyata tidak sempat menyelamatkan diri, ia berdiri disampingku sambil meremas-remas bajuku gemetaran. Sempat kulirik wajahnya yang kini mulai basah oleh keringat dingin.
“Jongkok semua!” teriak Pak Muksin.

Kami beringsut tunduk, kaki-kaki ini tiba-tiba begitu lemah dan gemetaran. Tak sanggup aku membayangkan kejadian itu. Seluruh tulang seperti mencair dan meleleh.

“Pak, catat nama-nama mereka. Lalu giring anak-anak berandal ini ke tengah lapangan sekolah. Biar mereka tahu bagaimana akibat dari perbuatan mempermalukan diri sendiri,” dengan lantang dan tanpa keraguan sedikit pun Pak Muksin menjatuhkan vonis pertama untuk kami.

Kami terdiam dalam kepasrahan sambil terus berdoa semoga hukuman yang akan diterima tidak akan membuat kami kehilangan kesempatan mendapatkan ijasah. Kini hanya tersisa belasan siswa termasuk aku dari sekitar tiga puluhan orang. Betapa beruntung mereka yang sempat menyadari kehadiran Pak Muksin sebelum tertangkap basah. Kami yang tinggal adalah anak-anak naas yang memang tidak punya cukup otak untuk tidak melakukan ritual coret-coretan pasca ujian. Kami begitu tuli, sehingga tetap melakukannya.

Padahal sudah ratusan kali, atau mungkin ribuan sejak dimulainya kegiatan belajar mengajar di catur wulan ketiga. Di kelas saat belajar, di kantor saat terhukum, di saat upacara, dan di muhadoroh mingguan dengan jelas dan pasti larangan itu terucap dari mulut setiap guru. Yang paling sering tentu saja Pak Muksin.

“Kalian ini adalah generasi yang dipersiapkan untuk lulus dengan berbekal ilmu pengetahuan yang mumpuni dan akhlakul karimah. Maka sangat tidak pantas jika nanti kalian merayakan keberhasilan lulus dari sekolah ini dengan mencorat-coret baju yang dibeli oleh orang tua kalian dengan keringat dan pengorbanan siang malam. Kalian telah dididik untuk mengerti perbuatan yang layak dan tidak layak dilakukan orang-orang yang terpelajar. Maka sangat bodoh jika kalian masih tetap bersikeras mengikuti tingkah buruk yang mungkin dilakukan siswa-siswa dari sekolah lain itu setiap tahunnya. Siswa Al-Islamiyah diharamkan melakukan coret-coretan. Kalian dengarkan dan camkan, kecuali jika kalian tidak ingin mendapatkan ijasah. Haram bagi saya memberikan ijasah kepada mereka yang melanggar aturan ini!”

Kalimat-kalimat itu terus mengiang-ngiang di kepalaku dan puluhan siswa yang seangkatan denganku selama perjalanan belajar kami menjelang ujian akhir. Tapi dasar otak-otak berandalan, di detik-detik terakhir setan-setan begitu gencar melakukan rayuan-rayuan. Salah satu setan itu adalah Ahmad Arif Ilham alias Ipang. Ia selalu berada di barisan paling depan dan memimpin pasukan setan-setan Al-Islamiyah yang lain. Hari ini satu, besoknya bertambah menjadi lima, kemudian terus berkembang sampai akhirnya pasukan setan itu berjumlah 34 orang. Aku berada di barisan paling terakhir. Ipang begitu kuat mempengaruhi imanku, aku tak kuasa menolak ajakannya mengumpulkan uang untuk membeli pilok dan spidol.

“Tad, kali ini aja. Nggak bakal ada yang nahan ijasah kita. Itu adalah hak, nggak ada pengecualian kecuali diberikan. Rencana ini gue jamin nggak bakal ketauan. Gue sama teman-teman yang lain tahu tempat paling aman. Pokoknya elu bisa bersorak dan nyemprot siapa aja dengan tenang. Bayangin men, baju-baju kita ini bakal full color. Indah kan? Emangnya elu nggak mau bikin kenang-kenangan. Momen kaya gini nggak terjadi setahun sekali. Ayolah!” begitu provokasinya.

Aku menunduk tak berani menolaknya.
“Aha, kita bakalan bikin kalimat-kalimat jurumiyah. Atau kalau elu mau, khat model naskhi atau diwani juga bisa gue buatin. Kalau soal nulis huruf arab, jangan remehin teman lu ini. Elu bisa lihat itu di nilai rapor gue.”
“Tapi…”
“Emangnya elu nggak mau ngerangkai puisi di baju Shara?”
“Apa?”

Tiba-tiba aku berani menatap wajah setan di sebelahku itu penuh antusias. Darahku berdesir-desir ketika mendengar nama yang disebutkannya. Kesadaranku secara misterius lenyap dan dengan bodohnya tubuhku yang seolah tersihir ini bergerak mendekati umpan yang dilemparnya dihadapanku. Mata Ipang berbinar-binar dengan sigap layaknya seekor cheetah Afrika berpengalaman yang siap menerkam banteng muda yang berada hanya lima meter dari tempatnya mengintai.

“Iya,” suaranya terdengar makin bersemangat, “Shara Hilmah Az-Zahra, si pemilik lesung pipit paling indah di Al-Islamiyah, replikanya Cleopatra. Si pelantun shalawat tersyahdu seumpama Sulisnya Hadad Alwi. Gadis berkerudung rapat yang puisi-puisi buat dia cuma berani elu tulis di bagian belakang buku tulis Fiqh, Matematika, Geografi, Fisika, Aqidah Akhlak sama…, gue lupa di halaman berapa buku paket PPKN.”
Aku menunduk bersembunyi dari rasa malu dan sedikit harapan.

“Ini kesempatan terbaik buat dapetin senyumannya di perpisahan nanti. Apa elu nggak mau itu?”

Ipang terus-menerus membuaiku dengan serendengan harapan yang begitu membuai. Alisnya naik turun melengkapi senyum jeleknya yang mirip Joker musuh Batman. Setan memang tidak pernah putus asa.

Aku mengangguk. Tangan kananku bergerak cepat ke arah saku depan baju seragamku dan kemudian menarik dua dari tiga lembar uang ribuan untuk diberikan pada setan itu. Kalimat-kalimat sakti yang terucap dari bibirnya telah menarik ketidakwarasanku ke tingkat paling tinggi. Mengelabui otakku akan resiko besar yang akan kuhadapi nanti, melalap habis kenyataan bahwa terakhir kali kulihat Shara berhamburan dengan muka keruh begitu dihampiri Ipang ketika makan di kantin belakang, dan menyamarkan kesadaran bahwa uang yang baru saja kuberikan itu adalah jatah makan siangku hari itu. Aku sudah buta, lupa dan tuli. Hanya karena nama itu, nama yang selalu ingin kutulis di samping namaku.

Dan ke-irasional-an itu kini membuatku berada di tengah-tengah kerumunan para pesakitan yang jongkok berdesak-desakan di tengah lapangan sekolah menunggu eksekusi, mirip sekali dengan hewan-hewan ternak yang menunggu dengan dungu pisau-pisau tukang jagal menyayat-nyayat leher mereka di hari-hari tasyrik.

Pak Muksin berdiri sangar di hadapan kami yang hanya berani melihat tanah. Kemudian tiga belas siswa laki-laki dan empat orang siswa perempuan dipisahkan. Aku melirik ke arah kumpulan siswi itu, tidak ada si ‘lesung pipit’. Karena memang dari 34 setan hari itu, tak satu pun bernama belakang Az-Zahra.

Aku baru tahu maksud pembagian kelompok ketika dengan lantang Pak Muksin menyuruh kami para laki-laki untuk melepaskan baju seragam yang sudah lebih mirip baju-baju pantai ala Hawaii. Dengan pengalamannya yang segudang, guru BP yang galak itu tahu persis porsi keadilan dalam memberikan hukuman. Jika sekumpulan perempuan itu juga harus menanggalkan seragamnya, maka ketigabelas setan ini akan makin menjadi setan.

Dan jumlahnya akan bertambah tujuh lagi, yakni Pak Muksin, Pak Satpam, tiga orang guru laki-laki, seorang Tata Usaha, serta seorang laki-laki tua penjaga sekolah yang tidak mau ketinggalan menyaksikan tontonan yang hanya pernah terjadi sekali di pelataran Al-Islamiyah ketika aku masih kelas satu di caturwulan dua. Mereka, siswa-siswa kelas tiga yang memilih pulang lebih cepat dan siswa-siswa kelas satu dan dua yang senang karena tidak masuk sekolah hari itu juga pasti akan menyesal seumur hidup karena telah melewatkan sebuah peristiwa bersejarah di Mts Al-Islamiyah itu.

Aku begitu gemetaran. Untuk pertama kalinya setelah aqil baligh, aku bertelanjang dada di hadapan orang lain. Meskipun di rumah, aku hanya berani membuka baju di dalam kamar. Apalagi ada empat orang siswa perempuan yang mengintip malu-malu dari balik kerudung mereka dan beberapa orang guru wanita yang tak henti-henti menutup mulutnya dengan tangan penuh ketidakpercayaan atas apa yang sedang disaksikannya.
Tujuh belas orang murid mereka, yang selama tiga tahun mereka limpahi begitu banyak ilmu, norma, kebenaran-kebenaran, akhlak, semangat untuk menjadi lebih baik sedang melepaskan satu persatu kancing baju seragamnya dan menanggalkan semua rasa malu sebagai sosok-sosok keji yang tuli akan semua peringatan yang telah mereka sampaikan.

Pak Hatsbi, guru favoritku, menunduk tak kuasa sambil bersandar di daun pintu ruang guru. Sempat kulihat matanya berkaca-kaca, ia begitu kecewa. Selama hampir tiga tahun beliau menyirami kami dengan semangat membara para khalifah Islam berabad-abad silam demi mengusung agama ini ke tempat paling mulia. Tubuhku makin gemetar, rasa malu ini makin berada di puncaknya. Melihat semua orang begitu lirih menatap kami, aku makin tertekan. Tertekan rasa takut dan penyesalan tiada terkira. Teganya aku memberikan kekecewaan pada sosok-sosok yang telah mengajarkanku banyak hal-hal baik dalam hidup. Sia-sia sudah usaha keras wajah-wajah tulus itu mengisi rongga-rongga kosong di relung hati kami yang masih begitu rentan ini dengan jutaan kasih sayang.

Pak Satpam mengumpulkan satu persatu baju seragam para setan yang sudah tidak lagi memiliki harga diri itu, kemudian menumpuknya seperti sampah. Lalu dengan tergopoh-gopoh, lelaki tua si penjaga sekolah menjinjing ember besar berisi air dan sebuah gayung yang terhuyung-huyung mengambang diatasnya.

“Rasakan kebodohan kalian ini!” bentak Pak Muksin sambil mengguyur kami sekaligus tanpa ampun dan tanpa terkecuali.

Para siswi itu pun kini tak luput dari eksekusi. Dan dibawah sengatan terik matahari yang seakan ikut menghukum kami dengan menghujamkan sinar siangnya yang begitu ganas membakar kulit kami yang tak tertutupi sehelai bahan pun, kami kuyup tak berdaya.
Aku terus menyeka air yang mengalir di wajahku, para siswi mulai terisak-isak. Kudengar dengan jelas penyesalan yang begitu dalam di antara isak tangis yang terasa makin pilu. Aku tak berani lagi menatap para guru, apalagi Pak Muksin. Sosok yang selalu membuatku takzim luar biasa ketika mencium punggung tangannya yang kekar setiap kali berpapasan. Senyumnya selalu merekah begitu aku menengadahkan wajah menatap matanya yang setajam matahari di pagi yang cerah. Tak terasa, air mataku ikut meleleh dan jatuh bersama tetesan-tetesan air hukuman itu.

Kesedihan ini makin tak terbantahkan ketika sayup-sayup kudengar Pak Muksin terus-menerus mengucap kalimat istighfar.

“Astagfirullah… astagfirullah…,” ucapnya lirih dan menyayat-nyayat kalbuku yang rapuh ini. Begitu getir dan pahit bagi anak yang baru berusia tiga belas tahun.
Air itu ternyata bukan satu-satunya hukuman bagi para laki-laki, kini giliran gunting kecil di tangan kanan Pak Muksin yang beraksi. Memotong, membabat, menelanjangi kepala-kepala batu kami. Helai demi helai rambut-rambut yang lengket oleh bercak-bercak cat beragam warna itu runtuh melayang-layang menuju tanah. Semua yang tak lagi berwarna hitam harus terlepas dari tempurung kami.

Pak Muksin melakukannya tanpa tehnik, tanpa aturan, tidak seperti tukang-tukang cukur di pangkas rambut. Beliau memang tidak pernah belajar bagaimana cara menggunting rambut yang baik sehingga membiarkan sisa-sisa rambut yang masih berwarna asli tetap berada di tempatnya tumbuh. Tak bisa dibayangkan tampang kami ketika itu.
Aku sudah tidak peduli dengan itu, gema istighfar dari mulut Pak Muksin kian jelas dan nyata. Dadaku bergetar hebat ketika tiba giliranku, kurasakan gerakan gunting itu begitu berat dan suara-suara yang mengiringinya begitu miris. Guru Jurumiyah-ku itu seperti tidak rela dan dengan sangat berat hati melakukan tugasnya. Tapi kutahu, itu sebuah konsekuensi yang harus kuterima dengan ikhlas.

Gerakannya lambat tapi tanpa keraguan sedikit pun, menyiratkan besarnya kasih sayang yang hanya menghadirkan pedih yang mendalam. Melihat kenyataan bahwa murid-muridnya telah melemparkan diri ke lapisan paling rendah dan nista. Bahwa setiap kata, nasihat, dan larangannya dipandang seperti angin di malam-malam musim dingin, basah dan menusuk tulang. Dijauhi dan dilupakan. Tapi beliau masih terus berusaha keras untuk menarik kami kembali, meraih kembali kehormatan kami yang luluh lantah.

“Sekarang lihat, apa lagi yang bisa kalian banggakan ketika baju-baju yang kalian anggap penuh kenangan ini sudah tidak lagi bisa melindungi kulit kalian dari sengatan panasnya matahari dan guyuran air? Nanti, di padang Mahsyar, sungguh tidak sehelai pun, Anakku!” suaranya bergetar mengkombinasikan amarah dan kesedihan.

Pak Muksin berhenti karena tak mampu lagi mengendalikan perasaannya. Sementara tangan kanannya menggenggam kuat-kuat derijen minyak tanah. Urat-urat di punggung tangan yang sering kuciumi itu membesar dan berdesir-desir. Beliau menumpahkan isi dirijen ke tumpukan baju kami seutuh-utuhnya sampai tetesan terakhir. Kemudian secepat anak panah yang menusuk jantung Hamzah di perang Uhud, anak korek berapi itu dilemparnya.

Dap! Hanya sekejap, percik-percik api itu membesar dan berkobar. Melalap setiap inci baju seragam kami. Melumat semua kenangan yang tergores di tiap benangnya, melenyapkan esay Ipang untuk selama-lamanya.

“Lihatlah anak-anakku, betapa sia-sia perbuatan kalian!” Pak Muksin mulai bicara lagi. Lebih lantang dan tegas. Seperti kulihat sosok pemimpin besar umat Islam bernama Thariq bin Ziyad sedang berdiri penuh wibawa ketika sedang berusaha menyulut semangat para pasukan perang Islam dengan membakar perahu-perahu yang membawa mereka menyeberangi selat Gibraltar untuk misi penaklukkan dataran Andalusia.
“Kalian lihat, semua kenangan telah hangus terbakar. Tak ada yang perlu diingat lagi. Karena di depan sana, begitu banyak tantangan yang akan kalian hadapi. Terlalu banyak musuh-musuh nyata yang harus kalian taklukkan. Kalau kalian pikir coretan-coretan itu bisa berbuat sesuatu, kalian salah besar. Satu-satunya kenangan yang harus terus kalian bawa adalah ilmu pengetahuan dan segala hal baik yang telah diajarkan para guru di sekolah ini selama 3 tahun.”

Kobaran api yang membakar baju kami makin membara, menambah hawa panas di pelataran Al-Islamiyah. Begitu juga dengan Pak Maksin, kalimat-kalimat yang dilontarkannya makin berapi-api. Menyulut jiwa-jiwa muda kami yang hangus terbakar hasutan hawa nafsu.

“Saat ini kalian berada di sebuah labirin yang meliuk-liuk dengan dinding-dinding dari tumbuhan hidup yang menjulang begitu tinggi, hingga kalian tak tahu ada apa di balik dinding-dinding yang kokoh itu. Maka berpeganglah pada petunjuk orang-orang yang telah melewatinya. Niscaya kalian akan dapat melintasi tiap lorong dengan aman dan leluasa.” Desah nafas Pak Muksin memburu, beliau seperti sedang menatap wajah-wajah kami yang terus menuduk satu persatu.

“Dan kalian hampir saja keluar dari labirin kecil bernama Al-Islamiyah ini. Tapi lihat, apa yang kalian lakukan? Tepat di depan pintu gerbang keluar, kalian malah memutar arah dan mengabaikan petunjuk-petunjuk. Sekarang rasakan akibatnya, karena tidak ada yang tahu kapan kalian bisa sampai di gerbang itu lagi.”

Pak Muksin menutup pembacaan vonis hukuman untuk kami dengan kalimat yang begitu menggetarkan. Kalimat yang terus terngiang-ngiang dan mendengung di otakku sepanjang waktu setelah hari itu. Aku dan keenambelas setan yang tertangkap hari itu dipenuhi penyesalan yang tak mampu lagi dielakkan. Bahwa betapa ketololan kami mengabaikan seruan-seruan dari mereka yang lebih dulu hidup adalah sebuah kesalahan yang terbesar yang seharusnya tak akan pernah kami ulangi lagi. Bahwa setelah lulus dari sekolah ini, sudah menunggu taman labirin yang jauh lebih besar, lebih tinggi, dan lebih penuh misteri. Setelah itu, taman labirin yang jauh lebih besar bersiap-siap menampung kami. Begitu seterusnya sampai kaki-kaki kami tidak mampu lagi melangkah di antara dinding-dinding labirin yang angkuh dan tak mengenal belas kasihan itu.

Hanya rasa cinta, keyakinan dan takzim terhadap seruan-seruan kebenaranlah yang mampu menghantarkan kami sebagai manusia menuju titik akhir dari perjalanan hidup, yakni keridhaan Allah SWT yang berwujud Surga Firdaus.